Kamis, 14 Agustus 2014

Oi Lowa’ Lete Kapahahai

Oleh : Fuad Mahfud Azuz
(opini Ambon Ekspres, 12 Agustus 2014)


Saya dan Busra Sialana, sepupu yang selama ini menetap di Jakarta membuat kesepakatan. Kami akan membawa keluarga masing-masing untuk “menaklukkan” bukit bersejarah Kapahaha. Tidak ada target muluk. Yang ada hanya dorongan untuk memperkenalkan pada anak dan istri yang kebetulan berasal dari luar Maluku, bahwa Kapahaha yang sering mereka dengar melalui pembicaraan kami, atau baca di media, beginilah alamnya. Terjal, berbatu karang.
Sedang untuk anak-anak kami, ada keinginan kami membangun cinta negri melalui wisata alam berlatar belakang sejarah. 

Ada beberapa alternatif jalan menuju puncak Kapahaha. Pilihan kami setelah diskusi dengan Abu Latukau dan Salem Lauselang, sang pemandu, akhirnya diputuskan melalui jalur Leasusu yang berarti melewati perkebunan cengkeh dan pala milik Tete Danda (panggilan akrab untuk kakek kami). Jalur ini dianggap paling mudah didaki. 

Hari itu, Minggu, tepat 7 Syawal 1435 atau 3 Agustus 2014. Pendakianpun dimulai sekitar jam 14.00. Abu berada di depan. Diikuti Syauqi anak saya yang tertua, kemudian Ian dan Ami, anak Busra menyusul. Sedang saya menemani Busra dan istrinya, Titi berjalan perlahan. Ini bukan pendakian mudah untuk kami yang umur sudah mendekati kepala lima. Keringat mulai membasahi tubuh kami. Tapi tetap semangat. Sesekali Nampak Titi mengatur napas dan langkah karena tanjakan atau berada di tepi jurang berbatu karang. Ukuran kami tentu pada Titi, istri Busra yang asli Bandung. 

Sekitar 20 menit, kami akhirnya mencapai pos pertama. Pos ini menurut cerita tetua Morella, adalah pos pengintai pasukan Kapahaha. Pos ditandai dengan sebuah batu karang berukuran sekitar 30 x 50 meter dengan tinggi bervariasi antara 10 hingga 20 meter. Ada bagian karang yang menjorok keluar, sehingga menyerupai teras rumah. Bagian bawahnya ada sebuah gua yang dipenuhi dengan stalaktit dan stalaknit. Gua ini banyak dihuni kelelawar. Pada stalagtit di depan gua, ada bentuk yang menyerupai kaki binatang. Menurut penuturan masyarakat Morella dahulu batu itu berbentuk perempuan dan seekor anjing penjaga. Namun kemudian dirusak oleh masyarakat sendiri, karena menghindari kepercayaan mistik. Bila kita berada di pos ini, maka dengan mudah kita melihat ke arah pantai. Mungkin sebab inilah maka disebut pos pantau pertama. Setelah beristirahan di pos Leasusu, kami melanjutkan dengan tujuan Air Doa Salamat. Mata air yang tidak kering walau di musim kering. Airnya sejuk. 

Dari sekian jalan terjal, maka pendakian paling terjal adalah ketika memasuki pintu utama Kapahaha. Kami harus berpegangan di karang yang berada sebelah kanan. Dan mendaki perlahan. Karena di sisi kiri, sudah ada jurang sekitar tiga sampai 5 meter. Kiri kanan, karang semua. 


Abu mengomando anak-anak aggar ketika mendaki di tangga di pintu kapahaha tersebut, tidak boleh melihat ke jurang. Perhatian ke batu. “pegang batu bae-bae. Cek akang, bila parlu goyang-goyang tampa pegang sebelum batumpu.” (pegang batu baik-baik. Periksa dengan teliti, goyang batu karangnya sebelum jadikan tumpuan). Tangga terjal ini akhirnya dapat dilewati dengan baik. Kami tiba di puncak. 

Dari puncak Kapahaha, saya sempatkan diri melihat ke arah Nandaluhu. Pantai itu adalah jalan terdekat ke Kapahaha. Dalam kapata dan cerita orang tua, dari teluk inilah kapal-kapal Belanda menembak Kapahaha dengan meriam.

WISATA SEJARAH

Sepanjang perjalanan, kami berdiskusi tentang pentingnya mengenalkan anak-anak kami dan generasi muda pada Kapahaha. Kapahaha bukan sesuatu yang angker. Wisata sejarah minimal miliki beberapa kriteria; harus ada nilai sejarah yang dapat diperlihatkan. Harus ada unsur wisata yang menyenangkan, dan harus dapat dinikmati banyak orang, tidak eksklusif. 

Jalur pendakian juga jadi pertimbangan, pendakian dari mana yang paling aman dan mudah sehingga banyak orang bisa mencapai puncak Kapahaha. Dasar pertimbangan ada pada Titi, ibu rumah tangga yang juga adalah PNS di Jakarta. Ia bukan anak negeri, bukan anak gunung, tapi mampu taklukkan bukit Kapahaha. Kami berkesimpulan, bila Titi mampu tiba di puncak, berarti karang terjal dan image yang melekat selama ini, bukan acuan untuk tidak tiba di puncak. 

Ketika pulang ke perkampungan Morella, informasi tentang pendakian kami menjadi topik cerita ringan. Termasuk dari adik-adik Forum Kajian Sejarah Kapahaha (Forum pelajar dan mahasiswa Morella) untuk mengatur wisata sejarah bagi pelajar-mahasiswa Morella “cart”. Wisata bisa memulai dengan mengajak anak-anak keluarga Morella yang sudah menetap di Ambon.

OBJEK DAN EVEN

Keunggulan Morella untuk membangun wisata sejarah ada pada dua hal. Pertama, objek bisa dijangkau. Dan kedua, ada even tahunan yang mendukung untuk selalu dikenang. Keunggulan ini saya bandingkan karena banyak daerah yang miliki potensi wisata sejarah, namun terkendala objek. Objek tidak “kuat” karena banyak faktor. Objek ini makin matang karena even tahunan Pukul Sapu Lidi terus dirayakan tiap 7 Syawal.
Tentu, kelemahan juga ada. Terutama pada SDM pengelola wisata. Harus diakui, kelemahan itu secara umum berlaku di Maluku. Penghargaan dan peduli wisata sejarah, belum menyatu dengan perilaku. Akibatnya, masih sekedar potensi. Morella butuh beberapa orang pionir untuk membangun wisata sejarah. Cukup beberapa orang. Yang penting mereka konsisten dan peduli.

Morella, 5 Agustus 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger