Kamis, 23 Mei 2013

Kuasa Rakyat dan Demokrasi: Memaknai Pelantikan Raja Adat di Maluku


Oleh : Faidah Azuz-Sialana
(Alumnus Fakultas Pertanian UNPATTI, sekarang mahasiswa S3 jurusan Sosiologi UGM Yogyakarta)

     Pelantikan raja adat di Maluku terutama di Kabupaten Maluku Tengah saat ini memperoleh legitimasi bukan saja berasal dari lembaga adat lokal, tetapi juga dari level di atasnya yakni pemerintah kabupaten dengan diberlakukannya Perda Kabupaten Maluku Tengah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, dan Pelantikan Kepala Pemerintah Negeri.
Perda ini kemudian mengakomodasi kemungkinan munculnya kepala pemerintahan yang diangkat berdasarkan adat negeri setempat yang menurut adat tersebut kepala pemerintahan diangkat berdasarkan garis keturunan mata rumah. Terbaca dengan jelas bahwa bahwa Perda ini memungkinkan negeri-negeri adat kembali memiliki kepala pemerintahannya berdasarkan apa yang telah mereka lakoni sejak ratusan tahun yang lalu tetapi kemudian di”matikan” oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
     Dalam bacaan sepintas, terlihat bahwa dengan adanya penetapan kepala pemerintahan berdasarkan adat negeri akan mematikan potensi demokrasi yang telah tumbuh subur seiring dengan lahirnya reformasi. Argumennya adalah semua anak negeri yang semula memiliki peluang menjadi raja di negerinya sendiri harus menelan pil pahit lantaran mereka berasal dari mata rumah yang secara adat tidak dimungkinkan memangku amanat sebagai pemimpin atau raja. Mereka yang cerdas, inovatif dan memiliki visi yang brilian harus mundur dari kompetisi kepala pemerintahan setempat lantaran terlahir dari mata rumah yang memiliki tugas dan wewenang lain. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa adat telah memangsa potensi anak negerinya sendiri.
     Situasi di atas seakan mendapat dukungan penuh Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang membuka kran demokrasi sehingga raja atau kepala pemerintahan desa dapat dipilih dari kalangan mana saja asalkan memenuhi syarat-syarat administrasi yang telah ditetapkan. Bahkan jika memungkinkan, seseorang yang bukan berasal dari negeri tersebut dapat saja memimpin masyarakat setempat asalkan memiliki dukungan suara yang banyak. 
     Ketika peraturan tersebut diberlakukan, secara administrasi, demokrasi mengalami perjalanan yang sangat dinamis. Semua orang dalam sebuah desa memiliki peluang yang sama untuk menjadi kepala pemerintahan. Adat menjadi institusi pendamping bukan lagi menjadi sandaran utama dalam kerangka budaya lokal yang sarat nilai historis dan harmonis itu. Akibatnya, banyak peristiwa-peristiwa adat mengalami kemunduran bahkan mati suri. Salah satunya adalah budaya sasi. Sasi yang semula pada sebagian negeri memiliki landasan adat tidak dapat dijalankan lantaran pemimpin setempat tidak memiliki wewenang dan juga terjadi penurunan hasrat mempertahankan adat sasi. Pada sebagian negeri, penerapan sasi mencari jalan lainnya yakni menemui pemimpin institusi agama (gereja) untuk mendapat legitimasi. Sementara pada negeri lain sasi hanya menjadi kenangan karena tidak dijalankan lagi. Hal ini dikarenakan dalam budaya Maluku penerapan adat hanya dapat dilaksanakan jika pemangkunya memiliki kapasitas untuk itu. Sementara pemimpin lokal yang dipilih secara demokrasi administratif berdasarkan suara individu tidak memiliki wewenang untuk menangani upacara-upacara adat. Pada perjalanan panjang seperti inilah demokrasi terlihat memangsa adat lokal yang telah tertata sejak lama. Demokrasi memainkan dua peran sekaligus, menghidupkan potensi individu dan sekaligus mematikan budaya lokal.
     Pengalaman panjang yang dialami oleh masyarakat negeri Morella, sebuah negeri adat di Pulau Ambon dalam konteks ini kiranya perlu diperhatikan dengan cara pembacaan budaya yang lebih menukik lagi. Secara historis, negeri Morella mengangkat raja secara adat terakhir pada tahun 1962 atau sekitar 51 tahun terakhir. Semua orang Maluku tentu saja akan memaklumi bahwa yang dimaksud dengan dengan pengangkatan raja adat adalah pengangkatan berdasarkan keturunan bukan berdasarkan pemilihan (one man one vote). Setelah periode tersebut, negeri Morella mulai memilih pemimpinnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang berarti peluang memimpin negeri telah terbuka untuk semua orang.
     Sejak saat itu, Morella memasuki masa demokrasi administrasi. Tetapi bersamaan dengan itu, peran budaya lokal mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Bahkan yang cukup menyedihkan adalah masyarakat yang masih belajar demokrasi administratif mengalami fragmentasi yang hebat. Mereka terpecah mengikuti alur pemenang “raja”. Dalam situasi ini, tekanan-tekanan politik praktis yang masuk untuk mendulang suara turut memperkeruh suasana. Masyarakat terbagi menurut afiliasi partai dan fragmentasi ini berlangsung cukup panjang. Fragmentasi yang berkepanjangan secara psikologis membuat masyarakat local menjadi rapuh. Perkelahian antar desa yang tak berkesudahan dapat dilihat dalam konteks ini. Suara raja bukan lagi didengar sebagai “tita” yang harus diikuti tetapi hanya sebagai “penandatangan” beberapa surat yang dibutuhkan oleh masyarakat.
     Pengalaman tersebut kemudian melahirkan kesadaran baru bagi masyarakat Morella. Hal ini lahir karena pengalaman fragmentasi yang kental baik secara internal maupun eksternal yang datang dari aktor pelakon politik praktis. Kesadaran tersebut adalah keinginan masyarakat untuk kembali pada bentuk pemerintahan yang dikendalikan dan ditetapkan secara adat. Konsekuensinya adalah kepala pemerintahan atau raja mengerucut hanya pada mata rumah yang secara adat memikul amanah raja atau menjadi “soa parenta”. Ketika keputusan menentukan raja dari “soa parenta” diambil, terdapat beberapa fenomena yang menarik. Pertama, terlihat antusiasme yang benar-benar massif di kalangan masyarakat Morella. Memori individu saling bersusun membentuk memori kolektif untuk mendapatkan format yang tepat tentang tata cara penetapan dan pelantikan raja adat. Hal ini dimaklumi karena pelaksanaan penetapan dan pelantikan raja secara adat terakhir berlangsung sekitar 51 tahun yang lalu. Kedua, lahirnya harapan di kalangan masyarakat bahwa tumpukan memori kolektif tersebut pada tataran selanjutnya akan melahirkan kesadaran baru untuk tetap mengedepankan budaya local tanpa kehilangan revilatisasi kekinian. Ketiga, keputusan penetapan secara adat mengakhiri friksi yang telah lama ada. Karena tidak ada pemilihan, maka kelompok-kelompok afiliatif menjadi lebur. Semua potensi masyarakat tercurah pada “Upu Latu Umarella” yang baru. Keempat, keputusan ini bukan lahir dalam hitungan hari semata, tetapi dilandasi oleh pengalaman panjang lebih dari 50 tahun. Sehingga dapat dijadikan bahan pendalaman budaya bagi negeri lain.
     Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah apakah keputusan kembali pada penentuan raja berdasarkan adat mematikan potensi demokrasi yang telah tumbuh selama ini? Secara teoretik, demokrasi memiliki makna bahwa kuasa tertinggi berada di tangan rakyat. Apa yang diingini oleh rakyat, itulah yang menjadi landasan filosofi sebuah demokrasi. Sehingga ketika masyarakat negeri Morella berdasarkan pengalaman panjang membuat keputusan untuk memiliki raja adat sesungguhnya masyarakat negeri Morella sedang melakoni demokrasi yang sangat mendasar dan tidak sekedar berada pada tataran demokrasi administrasi (by vote) belaka. Disamping itu mereka juga tengah melaksanakan UUD 45 terutama pasal 18a yakni menggunakan jaminan Negara atas hak-hak tradisionil masyarakt yang masih hidup dan diakui.
     Dengan demikian ketika pemerintah di level yang lebih tinggi (pemerintah Kabupaten) mengakomodasi kehendak masyarakat adat untuk kembali menata adat mereka termasuk penetapan raja, maka secara tidak langsung pemerintah telah turut menghidupkan demokrasi pada level yang lebih tinggi dan mendasar. Bukankah ini merupakan contoh bagaimana sejatinya sebuah demokrasi ditegakkan?
________________
Tulisan ini telah di muat pada rubric Opini Harian Ambon Ekspres, tanggal 22 April 2013. Dimuat kembali untuk  kepentingan edukasi dan advokasi.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger