Selasa, 19 April 2011

Berburu Naskah Tua di Balik Keindahan Leihitu

Udara pagi menyergap rasa kantuk kami ketika pesawat mendarat di Bandara Pattimura, Ambon, 1 Februari lalu. Tiga jam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Ambon memang melelahkan. Namun rasa capek itu sirna oleh suguhan pemandangan ketika taksi yang membawa kami melintasi jalanan berliku menuju Kota Ambon. Di sisi kanan membentang Laut Banda yang begitu indah.

Rombongan beranggotakan 22 orang, terdiri atas para pakar filologi, ahli bahasa, arkeolog, dan peneliti dari Pusat Bahasa. Kami tergabung dalam Tim Peneliti Kodikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang diketuai Titik Pudjiastuti, guru besar filologi. Kodikologi adalah ilmu pernaskahan, sedangkan filologi adalah ilmu tentang naskah sastra lama.

Jauh-jauh terbang dari Jakarta, tujuan perjalanan kami adalah berburu naskah kuno di Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang terkenal dengan keindahan alamnya.

Setelah menempuh 40 kilometer, rombongan memasuki Kota Ambon. Kami menginap di Hotel Manise, yang saat itu sedang diperbaiki. Udara panas membuat kami segera membersihkan diri di kamar mandi masing-masing. Pada hari pertama, kami bertemu dengan pejabat yang berkaitan dengan penelitian kodikologi.

Barulah keesokan harinya, saat Ambon diguyur hujan, kami bersiap menuju tempat perburuan naskah di Desa Kaitetu. Tak lupa tiga fotografer yang juga filolog telah menyiapkan peralatan kamera untuk digitalisasi naskah. Kami berangkat dengan menumpang bus pinjaman dari Balai Diklat Departemen Agama Ambon.

Sungguh luar biasa menegangkan perjalanan 44 kilometer dari Kota Ambon ke Leihitu. Sang sopir melarikan bus dengan kecepatan tinggi di jalanan mulus namun sempit penuh tanjakan, turunan, dan jurang itu. Sungguh mendebarkan.

Kadang Selat Seram tampak di sisi kanan kami. Kemudian, tatkala bus menikung, lautan terlihat di sisi kiri kami. Di sepanjang jalan, kami menyaksikan sisa-sisa rumah yang rusak akibat konflik sosial beberapa tahun yang lalu. Mata kami pun disuguhi pemandangan berupa bukit-bukit penuh dengan pohon cengkih dan pala yang merupakan tanaman utama penduduk negeri Hitu sejak dulu. Juga pohon sagu, durian, manggis, duku, dan pisang.

Di tepi jalan, banyak gubuk kecil yang menjajakan buah tersebut. Ketika mengaso sejenak, kami mencoba mencicipi durian dan manggis. Harga sebuah durian berkisar Rp 5.000. Untuk ukuran agak besar, harga seikat yang berisi tiga buah Rp 25 ribu. Saya menggunakan kata agak besar karena durian di daerah ini kecil-kecil, tapi rasanya manis sekali. Mak nyus. Sementara itu, manggis per tumpuk dijual Rp 5.000 yang berisi enam buah.

Siang kami sampai di Desa Kaitetu--penduduk sering menyebut kata desa dengan negeri.

Yang unik, Leihitu masih menyimpan kejayaan masa lalu, dengan masih eksisnya raja-raja yang berjumlah 16 orang. Dari 16 raja tersebut, 13 raja memimpin negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, tiga raja memimpin negeri berpenduduk mayoritas Nasrani. Negeri Kaitetu secara turun-temurun dipimpin oleh seorang raja, dan raja saat ini bernama Mohammad Armin Lumaela, 37 tahun.

Bukti lain kejayaan masa silam berupa masjid tua Wapauwe di Kaitetu. Menurut Djafar Lain, 60 tahun, salah seorang tokoh negeri Kaitetu yang memandu kami, Masjid Wapauwe didirikan pada 1414. “Dengan adanya perang Wawane, Belanda mengganggu kedamaian penduduk Tanah Hitu yang taat melaksanakan syariat agamanya,” kata Dafar Lain. “Karena tidak merasa aman, pada 1614 masjid dipindahkan ke kampung Tehala, yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan, yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini lantas disebut masjid Wapauwe,” ujarnya. Artinya, masjid yang didirikan di bawah pepohonan mangga hutan.

Memasuki masjid ini membuat kita terpaku saat melihat konstruksi bangunan induknya yang dirancang tanpa memakai paku. Selain unik, di dalam masjid ini masih tersimpan banyak naskah tulisan tangan tentang sejarah, silsilah, doa, surat keputusan, Al-Quran, primbon, jimat, dan lain-lain. Keunikan lainnya, banyak yang percaya, jika berdoa di masjid ini, keinginannya bakal terkabul, seperti ingin punya anak dan lekas dapat jodoh.

“Tapi keinginan utama kami adalah naskah yang tersimpan dapat didigitalisasi dan isinya dapat dipahami oleh generasi penerus,” kata Mujizah, peneliti dari Pusat Bahasa.

Raja Armin Lumaela menunjukkan kepada kami koleksi kelengkapan masjid berupa timbangan zakat yang terbuat dari kayu dan anak timbangannya terbuat dari campuran batu dan kapur. “Beratnya 2,5 kilogram untuk satu zakat,” katanya sambil memperagakan cara penggunaan timbangan yang berusia ratusan tahun itu.

Sekitar 150 meter di utara masjid berdiri sebuah gereja tua peninggalan Portugis. Sayang, gereja bersejarah ini dibakar pada masa konflik beberapa tahun yang lalu, namun kini sudah diperbaiki kembali dengan bangunan baru. Hanya beberapa meter dari gereja tua terdapat New Amsterdam, benteng tua peninggalan Belanda, yang berdiri kokoh di tepi pantai.

Dari lobi lantai atas bangunan benteng yang kayunya mulai rapuh kita bisa memuaskan mata menikmati keindahan Tanjung Tetuyoga. Konon, tempat ini dipilih Belanda karena letaknya yang strategis untuk melawan rakyat Tanah Hitu dalam perang Wawane (1634-1643) serta perang Kapahaha (1643-1646).

Hari itu kami juga melakukan pemotretan naskah di rumah Husain Hatuwe, seperti Al-Quran tulisan tangan, khotbah, dan azimat pelindung yang digulung dan disimpan dalam bambu. Sebagian naskah masih jelas dapat dibaca. Namun sebagian naskah lainnya mulai rusak termakan usia.

Setelah usai melakukan penyelamatan naskah di Kaitetu, kami kembali ke Ambon.

* * *

Esok harinya, kami kembali terguncang-guncang di bus dalam perjalanan dari Ambon ke Morella. Terletak di tepi pantai Leihitu, Morella sebuah negeri yang cantik Turun dari bus, kami langsung menuju pantai yang berair jernih. Ombak besar membuat kehidupan nelayan terhenti sejenak. Mereka memilih menambatkan perahunya menunggu musim ombak reda. Anak-anak nelayan tampak riang bermain layang-layang di pantai.

Seorang pensiunan kapten TNI Angkatan Darat, Said Manilet, menerima kedatangan kami dengan ramah. Di rumah adat marga Manilet yang sudah berusia ratusan tahun beratap daun lontar, Said Manilet mengeluarkan koleksi naskah-naskah kuno yang tersimpan di sebuah kotak besi yang telah berkarat saking tuanya.

Pemotretan berlangsung sampai malam, dengan listrik dari genset karena hari itu Morella mendapat giliran pemadaman listrik dari PLN. Sayang, naskah-naskah yang tersimpan sebagian sudah rusak sehingga tim harus hati-hati sekali membersihkannya.

Selain di Morella, kami melakukan digitalisasi naskah di Hitu Lama dan Hitumessing, masih di Kecamatan Leihitu. Raja Negeri Hitumessing, Abdullah Pelu, mengeluarkan koleksi naskah-naskahnya yang sebagian besar terawat. Ia juga memperlihatkan koleksi bendera merah-putih. Bendera yang dibuat pada 1949 itu, kata Pelu, dikeluarkan pada upacara kemerdekaan Republik Indonesia di halaman rumah sang raja yang luas dan bersih itu.

Mumpung di Leihitu, tak lupa kami menyempatkan menikmati keindahan pantai. Saya pikir keelokan pantai-pantai di Leihitu layak jual sebagai obyek pariwisata. Sebut saja Pantai Liang yang kami kunjungi. Hamparan pasir putih terbentang luas. Air laut yang jernih membuat pengunjung tampak betah berenang. Sayang, pihak pengelola tidak menyediakan toilet untuk berbilas dan berganti pakaian. Warung yang ada pun cuma menjual minuman dan rujak. Anggota tim, Prof Dr Achadiati Ikram, 78 tahun, terpaksa menahan keinginannya untuk minum kelapa muda, karena tidak satu pun pedagang yang menjualnya.
Seorang nelayan mendayung perahunya mendekati pantai. Itu satu-satunya perahu nelayan yang hari itu berada di Pantai Liang. Untuk menyusuri indahnya Pantai Liang, saya menumpang perahu itu sendirian dengan ongkos Rp 25 ribu. Musim ombak besar belum berakhir, sehingga ketika baru berlayar beberapa menit saja, saya meminta menepi. Ngeri.

Kami pun menyempatkan menikmati pemandian air panas Rupaitu, sekitar 30 menit perjalanan dari Pantai Liang. Rupaitu atau tujuh rupa adalah pemandian air panas yang berasal dari panas bumi. Sumber air panas di Rupaitu terletak di bawah kolam untuk berendam, sehingga harus menggunakan pompa air untuk menyalurkan airnya ke kolam-kolam yang tersedia. Uniknya, saya tidak mencium bau belerang yang biasa tercium di tempat pemandian air panas.

Ada beberapa pilihan kolam dengan tingkat kehangatan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan pengunjung. Saya tidak berani ikut berendam karena kolam yang dianggap “paling dingin” pun masih terasa panas untuk tubuh saya. Padahal hangatnya air di Rupaitu diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Puas berendam di Rupaitu, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Ambon.

Sebelum kembali ke Jakarta, pada ulang tahun seorang anggota tim, Irmayanti, kami menyempatkan berwisata kuliner di Restoran Ratu Gurih Ambon. Di antara menu khas Ambon yang berlimpah, ada papeda, makanan yang terbuat dari tepung sagu berbentuk pasta dan biasa dimakan dengan sup ikan. Cara makan papeda, mangkuknya didekatkan di mulut, disendok dan dihirup (lebih tepatnya disedot) pakai mulut.

Bambang Widiatmoko, Penyair, Kandidat Doktor di Universitas Negeri Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger