Sabtu, 23 April 2011

Budpar Maluku Siapkan Festival Budaya Islam

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku menyiapkan festival kesenian dan budaya bernuansa Islam untuk menyemarakkan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-XXIV di Maluku, Mei 2012.

"Kami sudah mengusulkan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), agar kegiatan kesenian dan kebudayaan Maluku yang bernuansa Islami bisa ditampilkan menjelang dan selama kegiatan MTQ berlangsung nanti," kata Kepala Disbudpar Maluku Florence Sahusilawane kepada ANTARA di Ambon, Jumat.

Ia menjelaskan, acara seni dan budaya Islam yang sedang mereka siapkan untuk digelar saat Maluku menjadi tuan rumah MTQ ke-XXIV, antara lain festival musik, parade hadrat dan toto buang, lomba taman indah, parade busana muslim dan lainnya.

"Kami juga akan berkoordinasi dengan Balai Arkeologi Ambon untuk menyiapkan pameran yang berkaitan dengan arkeologi Islam," katanya.

Menurut Sahusilawane, pameran arkeologi direncanakan akan dilangsungkan di Kecamatan Leihitu, Kebupaten Maluku Tengah (Pulau Ambon), karena daerah tersebut memiliki banyak peninggalan sejarah Islam, salah satunya adalah masjid tua Wapauwe yang berdiri sekitar 1414 Masehi.

"Kecamatan Leihitu memiliki potensi pariwisata Islam yang cukup besar. Seperti peringatan hari tujuh Syawal yang digelar oleh Desa Mamala dan Morela setiap hari ketujuh Idul Fitri, dengan mengadakan festival `pukul manyapu`," katanya.

Ia menambahkan, festival yang telah menjadi agenda tahunan Disbudpar Maluku tersebut yang menceritakan tentang perjuangan masyarakat Leihitu dalam mengusir penjajah Belanda, telah menginspirasi seniman daerah Maluku untuk menciptakan tarian kontemporer "baku pukul manyapu".

"Tarian ini pernah mendapatkan penghargaan Penyaji Terbaik se-Indonesia pada Parade Tari Nusantara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), tahun 2009," kata Florence Sahusilawane.(*)


Sumber:  ANTARA NEWS.com

Negeri Alang tak Dibiarkan Terus “Mamboro”

AMBON–Bermain pasir di tepi pantai merupakan kebiasaan yang gemar dilakukan Inggrid, John, dan Adhit, tiga bocah Desa Alang, Kecamatan Leihitu, Provinsi Maluku.
“Katong ada barmaeng pasir om (Kita sedang main pasir om),” kata Inggrid, ketika ditemui sedang bermain bersama dua sahabatnya itu, di tepi pantai Pasir Putih yang membentang sejauh kurang lebih 500 meter di dekat jalan raya Negeri Alang.
Gadis berkulit hitam dengan rambut agak ikal itu tersenyum dan tertawa kecil saat disapa, demikian pula reaksi yang diberikan kedua sahabatnya.
Membangun istana pasir, lengkap dengan terowongan dan selokan di sekelilingnya, biasa dilakukan anak-anak Negeri Alang saat liburan.
Tempat Inggrid, John, dan Adhit bermain merupakan kawasan pantai berpasir putih yang banyak dihiasi karang papan, batu karang yang tidak tajam sehingga orang yang menginjaknya tanpa alas kaki pun tidak perlu khawatir tergores atau tertusuk.
Kecuali obyek wisata Pantai Natsepa, kawasan pantai di Pulau Ambon umumnya berkarang papan, warnanya putih kekuningan, seperti terlihat di pantai Pasir Putih Alang.
Ditetapkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku sebagai salah satu lokasi kunjungan wisata, pantai tersebut berlokasi di wilayah kecamatan Leihitu Barat, yang mencakup Desa Wakasihu, Larike, Alang, Liliboy dan Hatu.
Menurut Camat Leihitu Barat John Mahulette, kawasan pesisir daerah ini memiliki pesona alam bawah laut dan pemandangan yang eksotik, dan karenanya sangat pantas untuk dijadikan obyek wisata alam, khususnya di tiga lokasi, yakni pantai Pasir Putih, Tapi, dan Alang.
Tapi dan Alang dengan bibir pantai melekuk ke arah daratan memiliki air jernih dengan kombinasi warna hijau (dangkal) dan biru gelap (dalam). Rencananya di dua lokasi itu akan dibangun tempat rekreasi memancing dan menyelam untuk menikmati keindahan alam bawah air, sementara wisatawan yang ingin berjemur dan berenang dapat melakukannya di lokasi Pasir Putih.
Pada hari Sabtu dan Minggu, kawasan pesisir Tanjung Alang cukup ramai dikunjungi wisatawan, meskipun yang berasal dari luar negeri bisa dihitung dengan jari. Dalam bahasa Maluku, kondisi seperti itu bisa diibaratkan “mamboro” (setengah tidur).
Pesta rakyat
Negeri Alang terletak di bagian ujung Barat Teluk Ambon, dan dapat didatangi melalui perjalanan darat melalui sejumlah negeri, yakni Batu Merah, Tantui, Galala, Halong, Latu, Lateri, Paso, Waiharu, Humuth/Durian Patah, Poka, Wayame, Tawiri/Hative Besar, Laha (Bandara Pattimura), dan Liliboy.
Pada akhir pekan, bahu kiri jalan utama di lokasi Pasir Putih dipenuhi puluhan mobil dan motor yang parkir. Di lokasi utama terlihat sejumlah pekerja sedang membuat pondasi lapangan voli pantai.
Melihat potensinya sebagai pesona bagi wisatawan lokal maupun internasional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi berupaya membangun Desa Alang sebagai obyek wisata andalan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi pendapatan asli daerah.
Sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan obyek wisata Negeri Alang, pemerintah Maluku sedang menyiapkan penyelenggaraan sebuah festival budaya dan pariwisata bertajuk Pesta Rakyat, dijadwalkan berlangsung pada 28 Maret.
Selain jalan darat dari Ambon dan Laha (Bandara Pattimura) menuju Desa Alang sudah dimuluskan, penyelenggara festival sekarang ini sedang sibuk mempersiapkan tempat tinggal bagi para pengunjung yang akan datang.
“Kalau tidak membangun pondok atau hotel, kami akan meminta warga di sini menyiapkan rumahnya untuk tempat menginap. Isitilahnya `homestay`,” kata Kadinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Ny Florance Sahusilawane.
Menurut dia, untuk pengembangan Negeri Alang sebagai daerah wisata, pihaknya bersama Camat Leihitu Barat dan Raja-Raja Negeri (kepala desa/lurah) Wakasihu, Larike, Alang, Liliboy dan Hatu serta pelaku pariwisata dari berbagai biro perjalanan serta Himpunan Pramuwisata Indonesia Cabang Maluku telah bertatap muka dengan masyarakat setempat dan memberikan masukan tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah bersama-sama mengembangkan potensi wisata yang ada di daerah mereka.
Dalam Pesta Rakyat yang dipusatkan di Negeri Alang, para pengunjung akan menikmati berbagai kesenian tradisional dan budaya setempat, juga makanan khas.
Sejauh ini, penyelenggara sudah menyiapkan sejumlah atraksi seperti Tifa Totobuang dan Sawat, yang merupakan kolaborasi seni dari dua tradisi masyarkat Kristen dan Muslim di Maluku, juga atraksi Timba Laor, menangkap cacing laut dengan alat siru-siru yang biasa dilakukan pada periode Maret-April.
Acara lainnya pembinaan sadar wisata dan pemberdayaan masyarakat, peragaan busana daerah, pertunjukan Tari Sagu, Tari Sahureka-reka, Tari Cakalele, Tari Ramas Kasbi (ubi), Tari Sayur Meti, Pencak silat, dan sejumlah permainan termasuk voli pantai, apiong (gasing), jona-jona (tempurung) yang menggambarkan kerinduan anak muda Maluku di rantau untuk pulang ke kampung halaman.
Selain itu, juga akan diadakan pameran sejarah, arkeologi, dan pemutaran film tentang pembangunan yang sekaligus merupakan sosialisai pemilu kepada masyarakat.
Menjadi teladan
Negeri Alang di ujung barat Teluk Ambon terpencil dan terkesan sedikit terisolasi. Kendati mayoritas penduduknya beragama Kristen, mereka dapat hidup berdampingan, rukun dan damai dengan masyarakat negeri tetangga, yaitu Wakasihu dan Larike.
Dengan diresmikannya jalan utama Laha-Wakasihu, sebulan sebelumnya, akses menuju negeri itu pun semakin terbuka, cepat dan lancar. Perjalanan dari ibukota Ambon dengan kendaraan darat hanya menghabiskan waktu 45 menit, menempuh jarak sekitar 45 kilometer.
Terbukanya akses jalan menuju Negeri Alang terbukti pula berbanding lurus dengan peningkatan jumlah orang yang mengunjunginya untuk berekreasi saat liburan, mengingat potensi wilayah pesisirnya yang menarik sebagai tempat rekreasi dan wisata.
Lebih dari itu, Pesta Rakyat yang bakal digelar dipastikan akan semakin membuka keberadaan Negeri Alang, tanah kelahiran Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, di mata masyarakat nasional dan internasional.
Pemerintah Maluku juga menyatakan harapan agar negeri yang juga dikenal sebagai penghasil langsat (duku) dan durian itu bisa menjadi daerah kunjungan wisata andalan, seperti halnya Pantai Natsepa.
Kehidupan masyarakatnya yang rukun dan bisa berdampingan secara damai, selama ini juga disebut-sebut sebagai teladan yang sangat positif.
www.republika.co.id

Waktu Berhenti di Fort Amsterdam

Oleh: Wildvagabond

Maluku - Sudah banyak orang tahu bahwa wilayah Indonesia Timur menjanjikan keindahan alam yang lebih mempesona dibanding destinasi wisata lain yang sudah umum diketahui dan sudah menjelma menjadi daerah yang too touristic. Namun semua setuju bahwa untuk mencapai Indonesia Timur dihadapi kendala dukungan fasilitas transportasi yang terbatas. Saat kita mencapai daerah yang kita tujupun, masalah transportasi kembali menghadang. Tetapi, kanapa harus khawatir? Bukankah dengan membiarkan diri kita tersesat di dunia yang benar-benar baru, kita justru akan menemukan intan-intan yang belum terasah selama perjalanan kita?
Oke lah, untuk mereka yang memilih berpetualang dengan fasilitas yang aman dan terjamin, kini tersedia rute penerbangan alternatif dengan menggunakan pesawat Garuda. Armada Garuda yang terbang setiap hari ke Ambon akan transit selama setengah jam di Makassar. Pesawat yang digunakanpun tergolong baru, yaitu Boeing 737-800. Rute penerbangan ke kedua kota ini dihidupkan kembali karena Makassar dan Ambon boleh dikatakan sebagai titik awal untuk mengeksplorasi keindahan wilayah Indonesia Timur yang memikat.
Dari Makassar, seseorang bisa memilih apakah akan menjelajah dataran Sulawesi sampai jauh ke Kepulauan Sangihe Talaud, atau berlayar bersama para pelaut handal Bugis menjelajahi kepulauan Nusa Tenggara dan terpana menyaksikan salah satu keajaiban dunia di Pulau Komodo. Tetapi, melanjutkan perjalanan selama satu setengah jam ke Ambon juga bukan hal yang mustahil, karena pulau ini merupakan titik awal dari keragaman yang menanti untuk dinikmati.


Kedamaian Pulau Awan
Saat saya menjelajahi Ambon akhir minggu lalu, bayangan reruntuhan puing dan posko-posko pemeriksaan seperti yang ditunjukan televisi nasional benar-benar tidak saya jumpai. Justru jalanan beraspal mulus (lebih mulus dari jalanan di Jakarta), dan geliat ekonomi masyarakat ambon yang serba cepat membuat saya kagum, betapa surga yang pernah diberitakan terkoyak kerusuhan ternyata sedikit demi sedikit sudah bangkit.
Ada banyak kegiatan yang saya ikuti selama saya di Ambon, mulai dari snorkelling, menjelajah hutan, menonton pertunjukkan sampai mengagumi peninggalan bersejarah. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari seluruh kegiatan yang saya ikuti, bahwa masyarakat Ambon sebenarnya adalah masyarakat yang cinta damai dan menerima perbedaan dengan senyum yang lebar.


Rahasia Keabadaian Fort Amsterdam
Fort Amsterdam adalah salah satu tempat yang saya kunjungi selam di Ambon. Berlokasi di desa Hila, bangunan ini sebenarnya benteng kedua yang dibangun Belanda di abad ke 17 dan berfungsi untuk menangkis serangan kapal-kapal pesaing dagang Belanda yang berniat merebut Kota Ambon sebagai basis perdagangan mereka. Sejak benteng pertama, Kastel van Nerre, hancur, praktis Fort Amsterdam adalah bangunan tertua peninggalan belanda di Pulau Ambon.

Bangunan yang nyaris berbentuk segi empat ini memiliki tebal dinding antara satu sampai satu setengah meter. Bagian luar bangunan terbuat dari batu dan bagian dalamnya saat ini terbagi dua, yaitu laintai dasar dan lantai dua yang beralaskan kayu besi. Baik struktur bangunan maupun kayu-kayu yang digunakan boleh dikatakan masih kuat menopang siapapun yang ingin tahu bagian sudut-sudut Fort Amsterdam, kecuali bagian balkon. Saat saya mengunjungi Fort Amsterdam pagar pengaman balkon sudah rubuh tergerus udara laut.
Padahal dari bagian balkon inilah pemandangan Teluk Ambon dan Tanjung Leihitu terhampar di depan mata. Laut yang jernih dan tenang serta perbukitan di seberang sana melempar imajinasi saya ke 350 tahun yang lalu saat Bangsa Belanda berhasil menaklukan seluruh kepulauan dari tangan Portugis. Lada, pala, dan rempah lain yang berharga lebih tinggi dari emaslah yang sebenarnya membuat Ambon satu-satunya wilayah di Indonesia yang merasakan penjajahan bangsa asing selama tiga setengah Abad.


Desa Damai
Desa Hila merupakan cerminan Ambon dan saya sungguh merekomendaskan desa serta benteng ini sebagai titik awal eksplorasi keindahan Ambon. Di desa Hila ini terletak dua situs bangunan religi terua yaitu Gereja Hila dan Masjid Wapauwe.

Gereja Hila merupakan bangunan terbuat dari kayu yang didirikan pada tahun yang sama dengan Fort Amsterdam serta terletak berdekatan dengan area benteng. Bangunan ini pernah direnovasi pada tahun 1880an setelah hancur terkena gempa dan berdiri kembali hingga saat ini.


Mesjid Mapauwe adalah mesjid tertua di Ambon dengan struktur bangunan campuran kayu dan batu. Di mesjid ini terdapat peninggalan para penyebar Agama Islam di Ambon dan artefak Al-Quran yang ditulis tangan.
Selama kerusuhan terjadi penduduk Desa Hila yang beragama Kristen diselamatkan oleh penduduk muslim yang mengelilingi mereka. Saat ini penduduk berbeda agama tersebut kembali hidup berdampingan dengan damai, seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lampau.
Banyak sekali wilayah di Pulau Ambon yang belum digali dan diketahui dunia luar. Dengan akses penerbangan yang lebih mudah serta fasilitas akomodasi yang mendukung, potensi wisata di kepulauan ini merupakan asset yang menjanjikan, terlebih dari Ambon siapapun bisa melanjutkan petualangan mereka lebih jauh ke timur ke destinasi yang lebih jauh, di mana petualangan hanya sebagian kecil dari pengalaman kita membaur dengan keindahan alam Indonesia.


(Wildvagabond / gst)

Sumber:  Detik Travel

Video: Budaya Huul Iyal Uli di Morella



Duration :

4:48

Description : 

Ini adalah sebuah taradisi yang dilakaukan oleh warga morella keturunan moyang-moyang yang berasal dari negeri lama Iyal Uli. Mereka terdiri atas Upu Ana dari lima mata rumah tau yaitu : Tawainlatu, Pical, Wakang, Lauselang dan Latulanit. Tradisi ini biasanya dilakukan bila salah satu warga diantara lima marga tersebut membuat suatu hajatan seperti perkawinan, khitanan, aqikah, dan sebagainya maka warga yang lain membantu dengan membawah berbagai keperluan terkait dengan hajatan itu. Cara unik dapat disaksikan dalam video ini, baik di pihak yang mempunyai hajatan maupun yang datang membantu masing-masing mempunyai gaya tersendiri.


Link to this video :

http://youtu.be/_8CMEA3uHeE

Selasa, 19 April 2011

Video: Menari Sawat Morella 2006 (1)



Duration :
3:31
Description :   
Bah suasana di gurun pasir, masyarakat Negeri Morella Kecamatan Leihitu menggelar tradisi menari sawat dalam sebuah acara perkawinan. Suara tifa rebana dan seruling menggema di sepanjang malam yang diberinama "Malam Nahu Lima" atau malam kumpul basudara.

Link to this video :

Video: Menari Sawat Morella 2006 (2)


Duration :
1:55
Description :   
ADAT PERKAWINAN DI JAZIRAH LEIHITU: Menari untuk mengantar pengantin ke bahtera kehidupan baru. Di Negeri Morella tradisi ini dilakukan secara bersamaan baik di pihak keluarga pengantin wanita maupun keluarga pengantin pria.

Link to this video :

Video: Menari Sawat Morella 2006 (3)


Duration :
3:33
Description :   
SEMAKIN LAMA MENARI SEMAKIN ASIK. Tak hiraukan malam yang semakin larut, ibu-ibu di Negeri Morella menari sawat mengelilingi seorang bapak tua. Acara seperti ini banyak dijumpai di Maluku khususnya di negeri-negeri adat yang merupakan warisan leluhur. Dalam video ini Bapak Hi.Umar Latukau dan kawan-kawan (tim sawat morella) terlihat sangat bergairah walaupun sudah berjam-jam mereka memukul rebana.
Sawat di Negeri Morella selain digelar di acara perkawinan juga pada hajatan-hajatan tertentu yang digelar oleh pemerintah negeri maupun dewan adat. Misalnya pada saat perayaan tradisi 7 syawal, makan patita, menghibur tamu raja, acara ritual di baeleu, kerja masohi (kerja bersama) di masjid dan rumah tua, maupun hajatan lain.

Link to this video :
http://youtu.be/rvBdkfe-6_k

Video: Menari Sawat bersama Raja Raja Nusantara dengan Masyarakat Negeri Morella



Duration :
2:23
Description :   
Usai Makan Patita, beberapa Raja dan Sultan se-Nusantara menari sawat bersama masyarakat Negeri Morella. (teluk sawatelu 2009).
Link to this video :
http://youtu.be/wvn6k5VVp7Q

Berburu Naskah Tua di Balik Keindahan Leihitu

Udara pagi menyergap rasa kantuk kami ketika pesawat mendarat di Bandara Pattimura, Ambon, 1 Februari lalu. Tiga jam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Ambon memang melelahkan. Namun rasa capek itu sirna oleh suguhan pemandangan ketika taksi yang membawa kami melintasi jalanan berliku menuju Kota Ambon. Di sisi kanan membentang Laut Banda yang begitu indah.

Rombongan beranggotakan 22 orang, terdiri atas para pakar filologi, ahli bahasa, arkeolog, dan peneliti dari Pusat Bahasa. Kami tergabung dalam Tim Peneliti Kodikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang diketuai Titik Pudjiastuti, guru besar filologi. Kodikologi adalah ilmu pernaskahan, sedangkan filologi adalah ilmu tentang naskah sastra lama.

Jauh-jauh terbang dari Jakarta, tujuan perjalanan kami adalah berburu naskah kuno di Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang terkenal dengan keindahan alamnya.

Setelah menempuh 40 kilometer, rombongan memasuki Kota Ambon. Kami menginap di Hotel Manise, yang saat itu sedang diperbaiki. Udara panas membuat kami segera membersihkan diri di kamar mandi masing-masing. Pada hari pertama, kami bertemu dengan pejabat yang berkaitan dengan penelitian kodikologi.

Barulah keesokan harinya, saat Ambon diguyur hujan, kami bersiap menuju tempat perburuan naskah di Desa Kaitetu. Tak lupa tiga fotografer yang juga filolog telah menyiapkan peralatan kamera untuk digitalisasi naskah. Kami berangkat dengan menumpang bus pinjaman dari Balai Diklat Departemen Agama Ambon.

Sungguh luar biasa menegangkan perjalanan 44 kilometer dari Kota Ambon ke Leihitu. Sang sopir melarikan bus dengan kecepatan tinggi di jalanan mulus namun sempit penuh tanjakan, turunan, dan jurang itu. Sungguh mendebarkan.

Kadang Selat Seram tampak di sisi kanan kami. Kemudian, tatkala bus menikung, lautan terlihat di sisi kiri kami. Di sepanjang jalan, kami menyaksikan sisa-sisa rumah yang rusak akibat konflik sosial beberapa tahun yang lalu. Mata kami pun disuguhi pemandangan berupa bukit-bukit penuh dengan pohon cengkih dan pala yang merupakan tanaman utama penduduk negeri Hitu sejak dulu. Juga pohon sagu, durian, manggis, duku, dan pisang.

Di tepi jalan, banyak gubuk kecil yang menjajakan buah tersebut. Ketika mengaso sejenak, kami mencoba mencicipi durian dan manggis. Harga sebuah durian berkisar Rp 5.000. Untuk ukuran agak besar, harga seikat yang berisi tiga buah Rp 25 ribu. Saya menggunakan kata agak besar karena durian di daerah ini kecil-kecil, tapi rasanya manis sekali. Mak nyus. Sementara itu, manggis per tumpuk dijual Rp 5.000 yang berisi enam buah.

Siang kami sampai di Desa Kaitetu--penduduk sering menyebut kata desa dengan negeri.

Yang unik, Leihitu masih menyimpan kejayaan masa lalu, dengan masih eksisnya raja-raja yang berjumlah 16 orang. Dari 16 raja tersebut, 13 raja memimpin negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, tiga raja memimpin negeri berpenduduk mayoritas Nasrani. Negeri Kaitetu secara turun-temurun dipimpin oleh seorang raja, dan raja saat ini bernama Mohammad Armin Lumaela, 37 tahun.

Bukti lain kejayaan masa silam berupa masjid tua Wapauwe di Kaitetu. Menurut Djafar Lain, 60 tahun, salah seorang tokoh negeri Kaitetu yang memandu kami, Masjid Wapauwe didirikan pada 1414. “Dengan adanya perang Wawane, Belanda mengganggu kedamaian penduduk Tanah Hitu yang taat melaksanakan syariat agamanya,” kata Dafar Lain. “Karena tidak merasa aman, pada 1614 masjid dipindahkan ke kampung Tehala, yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan, yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini lantas disebut masjid Wapauwe,” ujarnya. Artinya, masjid yang didirikan di bawah pepohonan mangga hutan.

Memasuki masjid ini membuat kita terpaku saat melihat konstruksi bangunan induknya yang dirancang tanpa memakai paku. Selain unik, di dalam masjid ini masih tersimpan banyak naskah tulisan tangan tentang sejarah, silsilah, doa, surat keputusan, Al-Quran, primbon, jimat, dan lain-lain. Keunikan lainnya, banyak yang percaya, jika berdoa di masjid ini, keinginannya bakal terkabul, seperti ingin punya anak dan lekas dapat jodoh.

“Tapi keinginan utama kami adalah naskah yang tersimpan dapat didigitalisasi dan isinya dapat dipahami oleh generasi penerus,” kata Mujizah, peneliti dari Pusat Bahasa.

Raja Armin Lumaela menunjukkan kepada kami koleksi kelengkapan masjid berupa timbangan zakat yang terbuat dari kayu dan anak timbangannya terbuat dari campuran batu dan kapur. “Beratnya 2,5 kilogram untuk satu zakat,” katanya sambil memperagakan cara penggunaan timbangan yang berusia ratusan tahun itu.

Sekitar 150 meter di utara masjid berdiri sebuah gereja tua peninggalan Portugis. Sayang, gereja bersejarah ini dibakar pada masa konflik beberapa tahun yang lalu, namun kini sudah diperbaiki kembali dengan bangunan baru. Hanya beberapa meter dari gereja tua terdapat New Amsterdam, benteng tua peninggalan Belanda, yang berdiri kokoh di tepi pantai.

Dari lobi lantai atas bangunan benteng yang kayunya mulai rapuh kita bisa memuaskan mata menikmati keindahan Tanjung Tetuyoga. Konon, tempat ini dipilih Belanda karena letaknya yang strategis untuk melawan rakyat Tanah Hitu dalam perang Wawane (1634-1643) serta perang Kapahaha (1643-1646).

Hari itu kami juga melakukan pemotretan naskah di rumah Husain Hatuwe, seperti Al-Quran tulisan tangan, khotbah, dan azimat pelindung yang digulung dan disimpan dalam bambu. Sebagian naskah masih jelas dapat dibaca. Namun sebagian naskah lainnya mulai rusak termakan usia.

Setelah usai melakukan penyelamatan naskah di Kaitetu, kami kembali ke Ambon.

* * *

Esok harinya, kami kembali terguncang-guncang di bus dalam perjalanan dari Ambon ke Morella. Terletak di tepi pantai Leihitu, Morella sebuah negeri yang cantik Turun dari bus, kami langsung menuju pantai yang berair jernih. Ombak besar membuat kehidupan nelayan terhenti sejenak. Mereka memilih menambatkan perahunya menunggu musim ombak reda. Anak-anak nelayan tampak riang bermain layang-layang di pantai.

Seorang pensiunan kapten TNI Angkatan Darat, Said Manilet, menerima kedatangan kami dengan ramah. Di rumah adat marga Manilet yang sudah berusia ratusan tahun beratap daun lontar, Said Manilet mengeluarkan koleksi naskah-naskah kuno yang tersimpan di sebuah kotak besi yang telah berkarat saking tuanya.

Pemotretan berlangsung sampai malam, dengan listrik dari genset karena hari itu Morella mendapat giliran pemadaman listrik dari PLN. Sayang, naskah-naskah yang tersimpan sebagian sudah rusak sehingga tim harus hati-hati sekali membersihkannya.

Selain di Morella, kami melakukan digitalisasi naskah di Hitu Lama dan Hitumessing, masih di Kecamatan Leihitu. Raja Negeri Hitumessing, Abdullah Pelu, mengeluarkan koleksi naskah-naskahnya yang sebagian besar terawat. Ia juga memperlihatkan koleksi bendera merah-putih. Bendera yang dibuat pada 1949 itu, kata Pelu, dikeluarkan pada upacara kemerdekaan Republik Indonesia di halaman rumah sang raja yang luas dan bersih itu.

Mumpung di Leihitu, tak lupa kami menyempatkan menikmati keindahan pantai. Saya pikir keelokan pantai-pantai di Leihitu layak jual sebagai obyek pariwisata. Sebut saja Pantai Liang yang kami kunjungi. Hamparan pasir putih terbentang luas. Air laut yang jernih membuat pengunjung tampak betah berenang. Sayang, pihak pengelola tidak menyediakan toilet untuk berbilas dan berganti pakaian. Warung yang ada pun cuma menjual minuman dan rujak. Anggota tim, Prof Dr Achadiati Ikram, 78 tahun, terpaksa menahan keinginannya untuk minum kelapa muda, karena tidak satu pun pedagang yang menjualnya.
Seorang nelayan mendayung perahunya mendekati pantai. Itu satu-satunya perahu nelayan yang hari itu berada di Pantai Liang. Untuk menyusuri indahnya Pantai Liang, saya menumpang perahu itu sendirian dengan ongkos Rp 25 ribu. Musim ombak besar belum berakhir, sehingga ketika baru berlayar beberapa menit saja, saya meminta menepi. Ngeri.

Kami pun menyempatkan menikmati pemandian air panas Rupaitu, sekitar 30 menit perjalanan dari Pantai Liang. Rupaitu atau tujuh rupa adalah pemandian air panas yang berasal dari panas bumi. Sumber air panas di Rupaitu terletak di bawah kolam untuk berendam, sehingga harus menggunakan pompa air untuk menyalurkan airnya ke kolam-kolam yang tersedia. Uniknya, saya tidak mencium bau belerang yang biasa tercium di tempat pemandian air panas.

Ada beberapa pilihan kolam dengan tingkat kehangatan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan pengunjung. Saya tidak berani ikut berendam karena kolam yang dianggap “paling dingin” pun masih terasa panas untuk tubuh saya. Padahal hangatnya air di Rupaitu diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Puas berendam di Rupaitu, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Ambon.

Sebelum kembali ke Jakarta, pada ulang tahun seorang anggota tim, Irmayanti, kami menyempatkan berwisata kuliner di Restoran Ratu Gurih Ambon. Di antara menu khas Ambon yang berlimpah, ada papeda, makanan yang terbuat dari tepung sagu berbentuk pasta dan biasa dimakan dengan sup ikan. Cara makan papeda, mangkuknya didekatkan di mulut, disendok dan dihirup (lebih tepatnya disedot) pakai mulut.

Bambang Widiatmoko, Penyair, Kandidat Doktor di Universitas Negeri Jakarta

Walikota Ambon Tawarkan Konsep Pengembangan Leihitu Untuk Belanda

Walikota ambon, Jopie Papilaja telah menawarkan konsep pengembangan Kecamatan Leihitu, Pulau Ambon bagian Utara, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) kepada Pemerintah Belanda.

Walikota Papilaja, di Ambon, Jumat menegaskan, pengembangan Kecamatan Leihitu perlu segera dilakukan, mengingat selama ini Pemkab Maluku Tengah maupun Pemprov Maluku kurang memperhatikan pembangunannya, mengakibatkan wilayah yang berjarak tempuh 1 jam perjalan dari pusat kota Ambon dengan kendaraan bermotor itu, menjadi tertinggal.

Dampak lainnya tingkat kemiskinan di sana relatif tinggi dan kota Ambon menjadi sasaran urbanisasi maupun pemasaran aneka produksi masyarakat, sehingga daya dukung ruang di ibukota provinsi Maluku ini semakin terbatas.

Ia menegaskan, wilayah itu cocok dijadikan sebagai pusat perdagangan antar pulau, termasuk dari Pulau Seram, Buru, Kepulauan Sula, provinsi Maluku Utara maupun dari Sulawesi Tenggara menuju Pusat Kota Ambon.

"Pelabuhan antarpulau perlu segera dibangun di Kecamatan Leihitu, sehingga semua transportasi antarpulau yang selama ini menyinggahi pelabuhan Slamet Riyadi, di pusat Kota Ambon bisa ditutup dan dikembangkan sebagai pelabuhan peti kemas," ujarnya.

Pembangunan pelabuhan antarpulau di kecamatan Leihitu, tegas Papilaja, lebih penting guna menunjang kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat, dibanding rencana pembangunan jembatan "merah-Putih" oleh Pemprov Maluku yang sudah mulai dikerjakan dengan menghabiskan dana sebesar Rp453 milyar itu.

"Leihitu akan menjadi pintu masuk menuju kota Ambon, selain Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon, Maluku Tengah, jika pelabuhan antarpulau dibangun disana.

Dengan begitu pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru akan bertumbuh dan berkembang di kecamatan itu, dan memberikan harapan hidup bagi masyarakat sekitarnya," tandasnya.

Papilaja mengakui, selama ini tidak ada penghidupan yang bisa mensejahterakan masyarakat yang bermukim di kecamatan itu, sehingga mereka lebih memilih berusaha di pusat Kota Ambon.

Masalah ini tambah, Papilaja, mengakibatkan berbagai program pemberdayaan dan kemandirian yang dilakukan bagi masyarakat di Kecamatan Leihitu tidak mampu berkembang, karena dinamika ekonomi tidak berjalan.

Jika rencana pengembangan ini bisa disetujui Pemerintah Belanda, perlu ditunjang dengan pengembangan wilayah sekitar sebagai daerah penyangga (hinterland), sehingga menunjang Kecamatan Leihitu sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Guna mewujudkan konsep pengembangan itu, Walikota Papilaja meminta Pemkab Malteng sebagai pemegang otoritas serta pemprov Maluku untuk memikirkan dan memprioritaskan pengembangannya, sehingga berdampak meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang dekat dengan kota Ambon itu.

"Saya akan mendesak pemkab Malteng dan Pemprov Maluku agar serius memperhatikan dan menindaklanjuti rencana ini, ketimbang merancang konsep pembangunan yang akhirnya mubasir dan tidak bermanfaat, karena dampaknya bagi pengembangan ekonomi masyarakat, membuka kawasan pertumbuhan ekonomi baru serta mengurangi beban dan daya dukung Kota Ambon yang semakin sempit," tandas Papilaja. (ANT).

Sumber: beritadaerah.com

Senin, 11 April 2011

Pukul Sapu Ceremony

Tradition at the broom held once a year on 7 Shawwal. This year was held on 8 October. Culture that has survived hundreds of years has its roots in perjuagan Kapitan Telukabessy who led the struggle against the people of Maluku VOC years 1636-1646. After being defeated, Kapitan Telukabessy sentenced to death. His forces then dissolve itself by a broom at.
This tradition is then survived until now in the village of Morella and Mamala, Leihitu District, Central Maluku district, Maluku Province. The youths and adult men participated in at the broom in Morella and Mamala. Participate at the broom is the pride and virility test as a man.
The event was watched by thousands of citizens of the Moluccas and several foreign tourists. Participants were divided into two groups, each consisting of 20 persons. Each fighter stood face to face with fighters from other groups in the middle of the arena-sized lapagan footballs. Every person holding the stick shaft enau to disabetkan. Lidi new replaced if damaged or broken.
The group hit a turn, retreated a few steps to take distance of a stick. Participants from groups opposed to standing, raising his stick above his head and allow the body to disabet stick. When the referee blew the Pluit, participants menyabetkan stick into the opponent’s body accompanied by shouts penggugah spirit.
Sabetan stick, leaving the leather stripes on the waist, chest, and back. Bleeding from the torn skin. Kerenyitan pain looked at the faces of the participants. Turn to hit the switch after the opponent backwards cornered kedekat spectators surrounding the arena.
“In this tradition there is no grudge, because at the broom is a symbol of brotherhood. The fighters from different parts of Maluku, Gowa (South Sulawesi) and Mataram (Java) had united against the invaders here, “said Abdul Kadir Latukau, King Affairs Morella.
The wounds on the body of participants at the broom is a symbol of unity in memory of the fighters under the command of Kapitan Telukabessy.

Sumber: Villas In Bali For Rent News & Articles

KEKAYAAN ADAT – ISTIADAT, SENI DAN BUDAYA MALUKU

Beberapa pihak terus serta telah berusaha melestarikan Adat – Istiadat, Seni dan Budaya Masyarakat Maluku, karena sejak sebelum Republik Indonesia Merdeka sampai jaman Globalisasi saat ini; Masyarakat di seluruh negeri di Provinsi Maluku khususnya masih terdapat acara – acara tradisi yang terus hidup dan diselenggarakan walaupun tidak seperti di daerah – daerah lain yang sudah menjadi acara tradisi berskala nasional dan menjadi internasional. Sebagai contoh di daerah Jawa ada acara yang disebut “GREBEK MAULID” dan atau “GREBEK SYAWAL“ sering kali ditayangkan di media Televisi dan media Cetak dan acara lainnya lain, demikian pula ada beberapa Kesenian dan Kebudayaan dari daerah lain yang menjadi Simbol pada setiap pembukaan suatu acara serta ada beberapa Kesenian dan Kebudayaan yang dipromosikan serta diperkenalkan sampai ke luar negeri; berbeda dengan Adat – Istiadat, Kesenian dan Kebudayaan Maluku, banyak masyarakat yang kurang mengenal da atau tidak mengetahuinya.

Sehingga dengan media elektronik ini Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Adat Maluku (LEPPA MALUKU), berusaha semaksimal mungkin untuk memperlihatkan, mengenalkan dan mengembangkan Adat – Istiadat, Seni dan Budaya Maluku, dengan tidak membeda – bedakan asal – usul Adat – Istiadat, Kesenian dan Kebudayaan dari negeri yang ada di Provinsi Maluku. Namun maksud dan tujuan Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Adat Maluku (LEPPA MALUKU) ini adalah sebagai media informasi, edukasi, komunikasi, promosi yang berkaitan dengan Adat – Istiadat, Kesenian dan Kebudayaan Masyarakat Maluku, sehingga baik masyarakat Maluku sendiri maupun masyarakat khalayak umum dapat mengenal dan mengetahui keberadaan yang ada di Maluku.
Salah satu acara tradisi yang masih dan terus diselenggarakan adalah PUKUL SAPU LIDI, yang dilaksanakan oleh Raja bersama masyaraka Negeri Morella dan Negeri Mamala di Ambon – Maluku, dimana acara tersebut diselenggarakan pada setiap 7 (tujuh) hari seusai Hari Besar Islam “IDUL FITRI“, dimana ciri khas acara tersebut yaitu Pukul Sapu Lidi Aren ketubuh antara lawan satu dengan yang lainnya, dengan beberapa syarat tidak boleh mengenai muka dan atau bagian pital lawannya.
 
 
Acara tradisi PUKUL SAPU LIDI ini sudah berjalan sejak beberapa ratus tahun lahu di Negeri Morella dan Negeri Mamala, sehingga hampir seluruh masyarakat disekitar Pulau Ambon maupun wisatawan asing yang mengetahui acara tardisi tersebut pasti padat menghadiri dan menyaksikan acara tradisi PUKUL SAPU LIDI tersebut, demikian pula dengan acara tradisi BAMBU GILA yang sangat dikenal oleh masyarakat Maluku maupun masyarakat daerah lain dimana acara tradisi BAMBU GILA sudah diketahui adalah berasal dari Maluku, namun masih banyak masyarakat daerah lain yang tidak mengetahui seperti apa acara yang disebut BAMBU GILA, dan masih banyak lagi acara tradisi masyarakat Maluku yang belum dan tidak diketahui oleh masyarakat Negeri – Negeri lain di Maluku maupun masyarakat dari daerah lain di bumi Nusantara – Indonesia.
Selanjutnya dengan tidak mengurasi rasa hormat LEPPA MALUKU mengharapkan peran serta partisipasi semua pihak dari seluruh Raja – Raja dan Ketua Adat serta masyarakat Maluku kiranya dapat memanfaatkan sarana media LEPPA MALUKU ini, agar dapat bermanfaat bagi orang Maluku maupun bagi generasi penerus guna dapat melestarikan dan mengembangkan Adat – Istiadat, Seni dan Budaya Maluku.

Sumber: ratna

Minggu, 10 April 2011

HEAVEN IN THE LAND OF ANCESTORS


Cape satan Morella,Photos: FKSB 2010
Thousand Islands country, ... .... That's the nickname given to the Moluccas, one of Indonesia's eastern tip region has a cluster of islands with diverse cultures, languages ​​and customs and abundant natural resources and matchless beauty.
Of the many scattered villages in the Moluccas, Morella is one of the country that holds a million indigenous strengths and beauty. Located on the Peninsula Leihitu, cheek by jowl with the other two villages namely Home Affairs and State Mamala Liang, located approximately 35.km of Ambon, the capital of Maluku Province. Travel can be taken for 45 minutes by road from downtown Ambon (Terminal red stone).
Besides having abundant natural resources such as fish, cloves, nutmeg, coconut and sago, Morella Affairs also has a wealth of other natural and untouched by the times. Some tourist attractions (marine tours, cultural and natural attractions) which can be found among others the following:
1. Fortress Kapahaha
2. Sawatelu beach
3. Letan beach
4. Tilepuai beach
5. Marine Park
6. Tradition At Broom Sticks

Crazy bamboo attraction,photos:FKSB 2010
Kapahaha Castle is one formed by a natural .fortress located on the headland devil, less 200 m from the beach and within walking distance. Various historical heritage of the fighters and objects old graves can still be found in these places (most have been kept in the house of King / Head of Village).
Sawatelu Beach which is located in the bay sawatelu has beauty but not least when compared with other tourist attractions in the Moluccas. Large-sized sandy beach with stunning natural scenery around could be one option to relieve fatigue after six days carrying out an exhausting routine. The position of the beach which is located on a bend bay sawatelu with adjoining stream to give the feel of its own.
For those of you who like to diving, Along the coast to the promontory sawatelu devil, there is a marine park that is not less beautiful in Bunaken. Marine park has a diverse marine biota. The fish various shapes and colors, clusters of coral-reefs in various forms a charming and various other types of biota.
All three attractions are (Fort Kapahaha, Sawatelu Beach and Marine Park) is located contiguous to each other so that makes it easy for travelers to make choices without having to spend to move the location. Like the saying goes once a row, two of the three islands exceeded. Once visited, three tourist sites visited.
It is said that the story that gave birth to a tradition started when a broom at the release of prisoners occurred in kapahaha by Dutch colonial fort in the bay sawatelu. Surge of excitement as well as compassion mixed with the spirit of patriotism was applied in the form of strike action yourself by using a broom. According to historical records the incident occurred on 7 syawal which later developed into a tradition of seven syawal by local communities for generations. In celebration, other attractions are also displayed at the broom dances Cakalele areas such as dance to the accompaniment of traditional music is also featured attraction of bamboo crazy. In Mad Bamboo spectator attraction given the opportunity to go try a show of force holding the bamboo that has been filled with the spirits of the ancestors by the handler. Surely it can be a special experience for tourists.


Ambon, Saturday, March 2nd, 2011 | By:
Fahmi Sialana

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger