Senin, 28 Februari 2011

Sekilas Tentang Benteng Kapahaha

Foto FKSB
Oleh : Yusuf Mony, S.Ag

Kapahaha adalah sebuah benteng alam (benteng pertahanan) pada perang Ambon IV (Ruhmpius) atau sering disebut dengan Perangan Kapahaha 1637-1646, letaknya ± 4 KM ke arah utara Pusat Negeri Morella. Sebelum menjadi Benteng Pertahanan tempat ini sudah di huni oleh manusia sejak berabad-abad. Manusia yang menghuni tempat ini berasal dari ula pokol di gunung Salahutu, manusia pertama di Ulapokol tersebut adalah Uka Latu Tapil. Dalam perkembangan selanjutnya anak-anak dari Uka Latu Tapil melakukan perpindahan Ke Amaela (Gunung Kukusan), setelah itu kemudian mereka pindah dan menetap di Kapahaha. Dari waktu ke waktu melalui proses perkawinan maka semakin banyak manusia di tempat ini kemudian mereka membentuk sebuah Aman/Hena (Negeri). Aman (negeri) tersebut terdiri dari beberapa rumah tau yaitu : Rumah Tau Sasole, Rumah Tau Sialana, Rumah Tau Sialana, Rumah Tau Leikawa dan Rumah Tau Manilet. Keemepat rumah tau inilah yang merupakan turunan asli yang menetap di aman (Negeri Lama) Kapahaha. Rumah Tau Manilet adalah turunan dari seorang penyiar agama islam yang berasal dari timur tengah bernama Syekh Qalam Abdul Kahar. Beliau datang sekitar abad ke-8 Masehi dan mengislamkan Penduduk Kapahaha (Tiga Rumah Tau Tsb).
Pada masa-masa selanjutnya Kapaha kemudian menjadi pusat pemerintahan adat dari beberapa negeri sekitar yaitu iyal uli yang berjarak ± 2,5 KM dari Negeri Morella, Ninggareta yang berjarak ± 9 KM dari Negeri Morella, dan Putulesi yang berjarak ± 1,5 KM dari Negeri Morella. Lambang Pemerintahan adat negeri Kapahaha yaitu Burung Manu Saliwangi yang sampai saat ini masih dipakai sebagai lambang pemerintahan adat Negeri Morella, dan Baeleu Tomasiwa sebagai tempat Musyawarah. Sementra itu, pusat keagamaan terletak di Negeri Lama Iyal Uli.
Pada awal abad Ke-17 dimana sebagian benteng Pertahanan di Maluku ditaklukan oleh VOC Belanda, maka semua Kapitan dan Malesi dari Patasiwa-Patalima yang bentengnya sudah di taklukan tersebut bergabung di Kapahaha dan karena letaknya yang strategis maka dijadikanlah sebagai benteng pertahanan perang yang berlangsung selama 9 tahun dengan Kapitan Besarnya Telukabessy (Ahmad Leikawa). perang yang berlangsung sejak tahun 1637 tersebut kemudian berakhir pada tahun 1646 dengan ditaklukannya para pejuang kapahaha oleh kaum penjajah VOC Belanda. Setelah itu Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) dihukum dan digantung di bentang Victoria Ambon dan jenazahnya ditenggelamkan di pantai Namalatu-Ambon.
Wai Do,a Selamat (Foto: FKSB)
Rakyat Kapahaha yang tertangkap dalam penaklukan tersebut dikenal dengan masyarakat “Hausihu” yang artinya kobaran api perjuangan. Kapahaha sekarang menjadi saksi bisu perjuangan Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa). Pada saat ditaklukan Benteng Kapahaha juga dibakar oleh VOC sehingga semua barang atau benda yang ada di Kapahaha saat itu semuanya ikut hangus terbakar, hal ini seperti yang tertuang dalam sebuah Lani/Kapata (Bahasa Tanah) “Elya Kapahaha Lia Putu Mahalisa”, yang Artinya “Kapahaha Habis dilalap Api”. Kini di Benteng Kapahaha hanya tersisa kuburan-kuburan tua, pecahan-pecahan alat rumah tangga serta beberapa buah benda/barang yang sempat diselamatkan. Kapahaha kemudian diabadikan namanya di taman makam pahlawan di Kota Ambon.
Kini Kapahaha juga menjadi objek wisata alam yang mengandung nilai supranatural dan religius. Selain itu, yang mengundang perhatian orang ke Kapahaha adalah sebuah mata air jernih di kaki benteng kapahaha yang bernama Wae Do’a Selamat (Air Doa Selamata) air ini dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger