Selasa, 01 Februari 2011

Menghadirkan Karaeng Di Kapahaha


Oleh :   Fuad Mahfud Azuz

Agustus lalu, di saat negeri ini memperingati kemerdekaan, saya bersilaturrahmi ke rumah Pemangku Adat Kerajaan Gowa, Andi Kumala Andi Idjo Karaeng Serang. Rumahnya terbilang sederhana untuk ukuran seorang pemangku adat. Orang tua Andi Kumala adalah Raja terakhir Kerajaan Gowa, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin yang meninggal tahun 1978 di Jongaya Makassar.  
Dalam silaturrahmi tersebut, kami membahas dua topik tentang hubungan  Gowa dengan Maluku. Pertama ketika perang Wawane dan Perang Kapahaha, dan Kedua, ketika penyelesaian konflik Maluku, Gowa menjadi tuan rumah penyelesaian dengan perjanjian Malino-nya.
Kami banyak membincang kehadiran pasukan Kerajaan Gowa di Maluku, pada masa perang melawan Belanda di Abad 17.  Kemudian juga menyinggung acara Pukul Manyapu yang berawal dari atraksi sebelum perpisahan dengan para pejuang Kapahaha. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 Oktober 1646 di pantai Sawatelu Negeri Hausihu  -  nama negeri lama Morella. 
Kehadiran saya di Sungguminasa Gowa, dalam rangka mengundang Pemangku Adat Kerajaan Gowa dan anak cucu tiga orang Karaeng (Karaeng Jipang, Karaeng Tulis dan Daeng Mangapa) untuk hadir pada perayaan Pukul Manyapu.  Di samping itu juga membuka silaturrahmi dengan Kerajaan Gowa. Karena selama dua tahun terakhir, kegiatan Pukul Manyapu Morella selalu dihadiri oleh Pengurus  Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) sebagai representasi dari anak cucu tiga orang Karaeng yang berperang di Kapahaha.
Undangan ini disahuti. Sang Pemangku Adat sangat bersuka cita untuk hadir pada perayaan Pukul Manyapu 7 Syawal.

SEKILAS JEJAK KARAENG
Di tengah perbincangan, ketika saya menyebut beberapa nama pimpinan pasukan Kerajaan Gowa  - antara lain; Karaeng Jipang, Daeng Mangapa, dan Karaeng Bontonompo, - Sang Karaeng (Andi Kumala), berdiri mengambil sebuah buku Inseklopedia Kerajaan Gowa dan memperlihatkan catatan tentang keterlibatan “Pasukan Karaeng” di berbagai daerah nusantara bahkan ke luar nusantara.
“Nama yang disebut tadi, seperti Karaeng Jipang, Karaeng Bontonompo, Daeng Mangapa, kalau masa  sekarang,  mereka minimal setingkat Brigjen”. Kata Sang Karaeng. 
Wah,…. mencengangkan. Betapa besar kekuatan yang dikirim oleh Kerajaan Gowa ke Benteng Wawane yang saat itu panglima perangnya adalah Kapitan Kakiali. Pasukan yang dikirim berjumlah sekitar 400 orang. Mereka adalah pasukan terbesar dari luar Jazirah Leihitu, ditambah dengan pimpinan sekaliber Karaeng Jipang dll.  Hal ini sekaligus menunjukkan kontribusi dan perhatian besar Kerajaan Gowa terhadap Maluku.
 Proses kedatangan diawali oleh permintaan Kapitan Kakiali pada Raja Gowa, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna (berkuasa tahun 1639 hingga 1653) untuk membantu perang melawan Belanda. Kemudian disusul dengan pengiriman cengkeh dalam jumlah relatif besar sebagai biaya bagi pasukan Karaeng.
Dukungan Karaeng sangat berarti pada Perang Wawane (Hitu I) dan menjadi sandungan bagi Belanda. Sehingga Belanda menggunakan politik de vide et impera dan membayar seorang berkebangsaan Spanyol untuk membunuh Kapitan Kakiali di saat tidur.
Setelah Kapitan Kakiali terbunuh dan Wawane jatuh, pasukan Karaeng berpencar di hutan-hutan Leihitu.  Mereka kemudian bersama Kapitan Tomol, Kapitan Patiwane, Imam Rijali, dan sejumlah pasukan lain bergabung ke Kapahaha. Kapahaha adalah benteng terakhir. Bukit batu terjal sesuai namanya, Kapa = tajam, haha = di atas.  Terletak sekitar 3,5 Km sebelah Utara Negeri Morella. Saat itu Panglima Perang Kapahaha adalah Kapitan Telukabessy.   
Menurut Imam Rijali, setelah rombongan tiba di Kapahaha, pembagian pos-pos pertahanan diatur. Pasukan Karaeng bergabung dengan Kapitan Patiwani dan Kapitan Tomol menjaga pos Iyal Uli. Pos pertahanan ini dekat Benteng Kapahaha.
            Sebelum Kapahaha jatuh, Karaeng Jipang dan Bontonompo bersama sebagian pasukannya kembali ke Gowa pada musim timur.  
Perang Kapahaha berakhir ketika Belanda berhasil mengetahui satu-satunya jalur menuju Benteng Kapahaha. Pada malam harinya, mereka melakukan serangan mendadak.  Pasukan Kapahaha kucar kacir. Kapahaha dibumihanguskan. Para pejuang banyak gugur. Sebagian yang selamat ditawan dan sebagian lainnya berhasil lolos, termasuk Kapitan Telukabessy, dan Imam Rijali.   
Setelah perang berakhir,  jejak pasukan Karaeng hingga kini kurang terungkap.  Informasi yang ada hanya seputar cerita sebuah batu di muara sungai Moki – sekitar 8 Km dari Morella ke arah Liang - yang biasa disebut “Batu Tete Bugis”. Selain itu, hanya menjelang acara Pukul Manyapu 7 Syawal, dilakukan pendekatan ke KKSS untuk mengahdiri acara mewakili 3 Karaeng. 

BERSAMA MENGUSIK SEJARAH
Perbincangan dengan Pemangku Adat Kerajaan Gowa di atas,  membangun mimpi indah saya.
Karena di Kabupaten Gowa sendiri ada rencana melakukan temu turunan Karaeng sedunia. Idenya agak wah,… Tapi bila ditilik pada langkah-langkah persiapan termasuk pagelaran Festival Kraton di Gowa pada bulan November nanti, maka  rencana ini sangat mungkin terlaksana. Agenda ini perlu disahuti sebagai upaya menapaktilas perjalanan sejarah, termasuk sejarah keterlibatan Pasukan Karaeng di Perang Wawane dan Kapahaha.
Lalu, dalam konteks  kekinian, apa yang dapat diambil oleh masyarakat Maluku terutama bagi wilayah-wilayah yang pernah berperang bersama melawan penjajah.
Jelas, bahwa jejak kebesaran Kerajaan Gowa dan pengaruh tokoh asal Sulsel secara umum di pentas nasional sekarang jadi pertimbangan. Tampilnya Jusuf Kalla sebagai Wapres, Riyaas Rasyid, Andi Alfian dan Rizal Mallarangeng, Syahrul Yasin Limpo – Gubernur Sulsel keturunan Karaeng Bontonompo - serta  sederet nama  orang Sulsel memberikan kontribusi signifikan yang membawa harum nama Indonesia Bagian Timur, menjadi peluang yang perlu disikapi sebaik mungkin. 
Minimal, perhatian yang diawali dengan keterpanggilan membangun sejarah bersama, dapat digunakan untuk mengangkat sejarah kebesaran para kapitan yang tertinggal jauh dibanding dengan Pahlawan Maluku; Kapitan Pattimura dan Martha Christina Tiahahu.
Lalu, bagi masyarakat Maluku, rencana kehadiran Pemangku Adat Kerajaan Gowa di pentas Pukul Manyapu merupakan kehormatan besar. Perayaan budaya ini penting untuk dikemas cantik dan menarik dengan tetap berdasar akurasi sejarah perjuangan. Karena dengan event adat berlatar belakang sejarah yang dikemas “cantik”, perasaan memiliki sejarah akan menjadi pendorong membangun event yang lebih “menasional” di kemudian hari.
Wawane dan Kapahaha (Perang Hitu I dan II) adalah perang berskala besar yang melibatkan Kerajaan Gowa, Ternate, Kerajaan Mataram (Jogja) dan hampir seluruh perwakilan dari wilayah Maluku. Masa perangnya juga lebih dari 13 tahun (Wawane tahun 1633 – 1643 dan Kapahaha tahun 1637 -1646).     
Di sisi lain, kemampuan mengorganisir event besar masih menjadi kendala internal di Morella. Kelemahan internal ini penting dijadikan warning dalam  mengemas event secara baik, persiapan lebih matang,  apalagi dengan rencana kehadiran Sang Karaeng.
Sedang bagi KKSS dan masyarakat Maluku asal Sulsel saatnya untuk lebih proaktif melakukan pendekatan guna mengambil peran dan bahu membahu membuka simpul-simpul kerjasama yang lebih baik dengan negeri-negeri yang memiliki sejarah bersama.   
Karena dengan menghadirkan Karaeng, kita sebenarnya sedang menata ulang pondasi sejarah bangsa yang kokoh.  
Allahu a’lam.

Fuad Mahfud Azuz     
Ketua YPI Al-Wathan Ambon
Sekretaris Kerukunan Masyarakat Morella (KMM) Ambon.
Tulisan ini pernah dimuat di Ambon Ekspres tanggal 22 septem,ber 2008

Kunjungan Putra Mahkota Kerajaan Gowa (Andi Kumala Ijo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang) di Perayaan  Pukul Sapu Lidi Negeri Morella tahun 2008. (foto: Mubarak Leikawa)

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger