Senin, 28 Februari 2011

Sekilas Tentang Benteng Kapahaha

Foto FKSB
Oleh : Yusuf Mony, S.Ag

Kapahaha adalah sebuah benteng alam (benteng pertahanan) pada perang Ambon IV (Ruhmpius) atau sering disebut dengan Perangan Kapahaha 1637-1646, letaknya ± 4 KM ke arah utara Pusat Negeri Morella. Sebelum menjadi Benteng Pertahanan tempat ini sudah di huni oleh manusia sejak berabad-abad. Manusia yang menghuni tempat ini berasal dari ula pokol di gunung Salahutu, manusia pertama di Ulapokol tersebut adalah Uka Latu Tapil. Dalam perkembangan selanjutnya anak-anak dari Uka Latu Tapil melakukan perpindahan Ke Amaela (Gunung Kukusan), setelah itu kemudian mereka pindah dan menetap di Kapahaha. Dari waktu ke waktu melalui proses perkawinan maka semakin banyak manusia di tempat ini kemudian mereka membentuk sebuah Aman/Hena (Negeri). Aman (negeri) tersebut terdiri dari beberapa rumah tau yaitu : Rumah Tau Sasole, Rumah Tau Sialana, Rumah Tau Sialana, Rumah Tau Leikawa dan Rumah Tau Manilet. Keemepat rumah tau inilah yang merupakan turunan asli yang menetap di aman (Negeri Lama) Kapahaha. Rumah Tau Manilet adalah turunan dari seorang penyiar agama islam yang berasal dari timur tengah bernama Syekh Qalam Abdul Kahar. Beliau datang sekitar abad ke-8 Masehi dan mengislamkan Penduduk Kapahaha (Tiga Rumah Tau Tsb).
Pada masa-masa selanjutnya Kapaha kemudian menjadi pusat pemerintahan adat dari beberapa negeri sekitar yaitu iyal uli yang berjarak ± 2,5 KM dari Negeri Morella, Ninggareta yang berjarak ± 9 KM dari Negeri Morella, dan Putulesi yang berjarak ± 1,5 KM dari Negeri Morella. Lambang Pemerintahan adat negeri Kapahaha yaitu Burung Manu Saliwangi yang sampai saat ini masih dipakai sebagai lambang pemerintahan adat Negeri Morella, dan Baeleu Tomasiwa sebagai tempat Musyawarah. Sementra itu, pusat keagamaan terletak di Negeri Lama Iyal Uli.
Pada awal abad Ke-17 dimana sebagian benteng Pertahanan di Maluku ditaklukan oleh VOC Belanda, maka semua Kapitan dan Malesi dari Patasiwa-Patalima yang bentengnya sudah di taklukan tersebut bergabung di Kapahaha dan karena letaknya yang strategis maka dijadikanlah sebagai benteng pertahanan perang yang berlangsung selama 9 tahun dengan Kapitan Besarnya Telukabessy (Ahmad Leikawa). perang yang berlangsung sejak tahun 1637 tersebut kemudian berakhir pada tahun 1646 dengan ditaklukannya para pejuang kapahaha oleh kaum penjajah VOC Belanda. Setelah itu Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) dihukum dan digantung di bentang Victoria Ambon dan jenazahnya ditenggelamkan di pantai Namalatu-Ambon.
Wai Do,a Selamat (Foto: FKSB)
Rakyat Kapahaha yang tertangkap dalam penaklukan tersebut dikenal dengan masyarakat “Hausihu” yang artinya kobaran api perjuangan. Kapahaha sekarang menjadi saksi bisu perjuangan Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa). Pada saat ditaklukan Benteng Kapahaha juga dibakar oleh VOC sehingga semua barang atau benda yang ada di Kapahaha saat itu semuanya ikut hangus terbakar, hal ini seperti yang tertuang dalam sebuah Lani/Kapata (Bahasa Tanah) “Elya Kapahaha Lia Putu Mahalisa”, yang Artinya “Kapahaha Habis dilalap Api”. Kini di Benteng Kapahaha hanya tersisa kuburan-kuburan tua, pecahan-pecahan alat rumah tangga serta beberapa buah benda/barang yang sempat diselamatkan. Kapahaha kemudian diabadikan namanya di taman makam pahlawan di Kota Ambon.
Kini Kapahaha juga menjadi objek wisata alam yang mengandung nilai supranatural dan religius. Selain itu, yang mengundang perhatian orang ke Kapahaha adalah sebuah mata air jernih di kaki benteng kapahaha yang bernama Wae Do’a Selamat (Air Doa Selamata) air ini dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit.

Minggu, 27 Februari 2011

Pantai Tilepuwai Masih “PERAWAN”

Pantai Tilepuwai merupakan salah satu pantai indah yang terletak di Negeri Hausihu Morella kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah tepatnya dibawah kaki Bukit Kapahaha, tak jauh dari Tanjung Setan. Meski belum populer, namun pantai ini kerap dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca negara pada setiap hari libur. Keindahannya yang sangat kental dengan nuansa alam menyebabkan pantai ini sangat menarik perhatian setiap orang yang melintas di jalan darat maupun dengan kenderaan laut. Selain panorama pantai yang indah, Tilepuwai juga memiliki potensi keindahan dasar laut. Beberapa penyelam dan photografer yang pernah datang di pantai ini mengatakan terumbu karang dan jenis ikan hias yang ada di dalamnya sangat berpariasi. Di bagian selatan terdapat banyak terumbu karang indah yang berderetan hingga ke tanjung setan, sedangkan sebelah utara juga terdapat terumbu karang indah yang berderet sampai ke Teluk Namanalu (tempat adannya gua laut). Di pesisir pantai banyak terdapat pepohonan besar, pada beberapa tebing bukit tak jauh dari pantai ini nampak beringin-beringin tua yang sering disinggahi burung, sehingga tak heran jika kita berada disana banyak terdengar kicauannya. Saat menjelan sore hari nuansa alami pantai Tilepuwai semakin terasa, suasana ini sangat cocok untuk para pemburu panorama karena beberapa titik dipantai ini dapat dijadikan untuk menikmati Sunset.
Selain keindahan-keindahan fisiknya, pantai tilepuai juga menyimpan sebuah kisah menarik tentunya ini adalah cerita sejarah perang Kapahaha (lihat Kapata Perang Kapahaha). Konon disuatu tempat dalam wilayah Tilepuwai yang bernama Haita Nandaluhu terjadilah suatu peristiwa dramatis antara VOC dan rakyat Kapahaha, kisah ini merupakan awal mula jatuhnya benteng kapahaha. Pada tahun 1646 serdadu belanda menangkap seorang staf ahli penyelidik dari benteng kapahaha yang diutus oleh Kapitan telukabessy untuk memantau di Haita Nandaluhu. Staf ahli ini bernama Yatapori, dia dijebak oleh VOC hingga tak dapat lolos. Saat itu belanda telah mempunyai suatu rencana buruk dengan siasatnya ingin membantu meringankan beban rakyat kapahaha yang sementara dalam penderitaan, yatapori dibujuk untuk menunjukan jalan rahasia menuju benteng kapahaha namun karena dia hanya mengelak tidak tau maka seorang serdadu belanda memberikan sebuah pundi beras yang telah dilubangi untuk Yatapori. Dengan sangat terpaksa Yatapori menerima pundi beras tersebut dan membawahnya pulang sampai ke Benteng Kapahaha. Belandapun menjejaki tumpahan beras dari pundi bawaan Yatapori itu hingga berhujung pada suatu pagi kelabu benteng kapahaha diserang secara tiba-tiba. Selengkapnya tentang kisah ini baca Perang Kapahaha di sini.
Itulah tadi sedikit info tentan pantai Tilepuwai, semoga dapat menginspirasi anda untuk melalan buana kesana.
Info Wisata Murah di pantai Tilepuwai Negeri Morella:
- Jarak dari kota Ambon ± 39 km, dapat ditempuh dengan angkutan umum dalam waktu 1 jam, biaya taraspot Rp. 8.000 sekali jalan/orang
- Jarak dari Pasar Hitu ± 8 km, dapat ditempuh dengan angkutan darat (motor ojek) dalam waktu 15 menit, biaya taraspot Rp. 15.000 sekali jalan/orang.
- Jarak dari pusat Negeri Morella ± 4 km, dapat ditempuh dengan angkutan darat (motor ojek) dalam waktu 5 menit, biaya taraspot Rp. 5.000 sekali jalan/orang, angkutan laut (perahu sampan) dalam waktu 25 menit.
Sebagai pelengkap tulisan ini, berikut adalah beberapa foto panorama di pantai tilepuwai:


Foto-foto ini saya dapat dari seorang Wisatawan asal Jakarta yang bernama FaturViss , dia mengunjungi pantai Tilepuwai pada Februari 2011.
Foto Tilepuwai lainnya dapat anda lihat disini

Selasa, 15 Februari 2011

Asal Usul Tanaman Cengkih

Cengkeh (Syzigium aromaticum) termasuk dalam suku Myrtaceae. Tumbuhan ini merupakan tanaman yang termasuk dalam kategori rempah-rempah dan pemanfaatannya bisa juga sebagai bahan obat. Asal dari tanaman ini masih dalam perdebatan di antara para ahli botani, ada yang mengatakan bahwa tanaman ini berasal dari Maluku Utara, Kepulauan Maluku, Philipina atau Irian.

Maluku Utara tampaknya merupakan daerah yang lebih kuat dan lebih diyakini oleh Masyarakat Negeri Morella sebagai asal mula Tanaman Cengkih. Hal ini dikarenakan di daerah ini terdapat tanaman cengkeh tua yang dianggap tertua di dunia karena ia telah tumbuh dan menghasilkan sejak zaman VOC sampai sekarang.

Konon kabarnya Tanaman cengkih yang ada sekarang bermula dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa kejayaan kerajaan Ternate di Maluku Utara dan kerajaan Kapahaha di Morella Pulau Ambon.

Pada suatu ketika Sultan Ternate mengadakan pertemuan dengan para pemimpin wilayah dari seluruh Maluku untuk mengajak bergabung dengan Kerajaan Ternate. Di antara para Pemimpin tersebut di undang pula Raja dari Kerajaan Kapahaha.

Dan adapun maksud dari dari pertemuan tersebut adalah Sultan Ternate berkeinginan untuk menjadikan semua wilayah yang ada di Maluku masuk dalam wilayah kekuasaan Ternate, dan semua pemimpin yang hadir pada saat itu menyetujui rencana tersebut kecuali Raja Kapahaha, Setiap wilayah yang sudah bergabung dengan kesultanan ternate wajib membayar upeti kepada sultan ternate.

Selang beberapa waktu lamanya sebagai wujud penolakan Raja Kapahaha untuk bergabung dengan Kesultanan Ternate, Raja Kapahaha mengirim upeti kepada Sultan Ternate dan setelah upeti itu dibuka ternyata isinya adalah Mayat bayi dan Sultanpun Memerintahkan pengawalnya untuk menanam (memakamkan) mayat bayi tersebut di depan Keraton.

Beberapa tahun kemudian terjadi keanehan pada makam tersebut karena pada dua batu nisannya tumbuh dua tanaman, yang kemudian dirawat dengan baik oleh para abdi di Keraton namun satu tanaman di nisan bagian kaki mati dan yang tinggal hanya satu tanaman dinisan kepala.

Seiring dengan berjalannya waktu tanaman tersebut tumbuh besar kemudian berbunga dan berbuah dengan mengeluarkan harum yang semerbak, pada saat yang bersamaan Sultan mengadakan suatu acara dengan mengundang Semua pemimpin di wilayah kekuasaannya termasuk Raja Kapahaha, akan tetapi Raja Kapahaha mengutus seorang punggawa kerajaan kapahaha yaitu Upu Hatunuku untuk mewakili Raja Kapahaha pada pertemuan tersebut.

Setibanya di keraton Ternate semua Tamu tertarik dengan tanaman tersebut dan Para tamu tersebut berkeinnginan untuk membawa pulang buah dari pohon tersebut sebagai bibit yang akan dibawa ke daerah masing-masing namun keinginan tersebut tidak diperkenankan oleh Sultan Ternate dengan alasan tanaman tersebut menjadi sejarah hubungan Keraton Ternate dan Kerajaan Kapahaha.

Setelah selesai pertemuan para tamupun meninggalkan Keraton, ketika keluar dari keraton ini Upu Hatunuku tak menyadari bahwa pada ujung tongkatnya paling bawah yang berlubang telah masuk beberapa biji dari tanaman tersebut.

Setibanya di Wawane tongkat tersebut di letakkan di sebelah rumah yang beberapa lama kemudian ujung bawah tongkat tersebut pecah, Upu Hatunuku kemudian memeriksa apa yang menyebabkan sehingga tongkatnya yang terbuat dari bambu bisa pecah, setelah diperiksa ternyata biji dari tanaman yang ada di depan Keraton Ternate itu, Kemudian Upu Hatunuku menanam Biji yang suadah mulai tumbuh tersebut dan setelah besar dinamai dengan Nama Pukulawang yang bermakna tidak bergabung dan ingin sendiri atau juga bermakna merasa takjub bila melihatnya.


Mitos Masyarakat Negeri Morella

By: Oyang Y. Mony

Mansoi, 15 Februari 2011

Rabu, 09 Februari 2011

Video: Atraksi Pukul Sapu Lidi Morella 2008



Budaya Maluku kekayaan Nusantara, Tradisi ini dilaksanakan setiap 7 hari setelah lebaran di Negeri Morella Kabupaten Maluku Tengah untuk mengenang perjuangan di Bentang Kapahaha Jazirah Leihitu yang dipimpin oleh Kapitan Telukabessy. Pada perayaan di tahun 2008 ini pukulan penghormatan yang biasanya untuk mengawali acara di lakukan oleh Putra Mahkota Kerajaan Gowa: Andi Kumala Ijo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang & Ir.Hamzah Sangadji serta sejumlah Pejabat di Maluku.

Selasa, 08 Februari 2011

Video: Atraksi CAKALELE Negeri Morella (2008)


Atraksi Cakalele Maluku memperkaya budaya Nusantara. Keberanian dan kelincahan serta semangat berjuang diolah padukan dalam sebuah gerakan seni dengan ciri khas anak adat.
Di Negeri Morella Kec.Leihitu, atraksi ini digelar setiap tahun pada saat perayaan acara adat 7 Syawal (Pukul Sapu Lidi).

Jumat, 04 Februari 2011

Pemerintahan Adat Negeri Morella


Negeri Morella terbagi dalam 3 soa,  masing-masing terdiri dari beberapa rumah tau dan dipimpin  oleh seorang  kepala soa. Pembagian mata rumah tau untuk setiap soa berdasarkan negeri lama asal. Negeri lama asal tersebut antara lain: Negeri Lama Kapahaha, Negeri Lama Iyal Uli, Negeri Lama Ninggareta dan Negeri Lama Putulesi.
Uraian ketiga soa tersebut antara lain:

         I.       Soa Kapahaha atau biasa disebut Soa Tomasiwa terdiri atas Enam Marga, yaitu:
1.    Sasole
2.    Sialana
3.    Leikawa
4.    Manilet
5.    Ameth
6.    Mony
Dengan Kepala Soa disebut Ela Helu dari Marga Sasole

      II.        Soa Ninggareta Putulesi atau biasa disebut Soa Pisi Hatu terdiri atas Tiga Marga Yaitu :
1.    Latukau
2.    Ulath
3.    Thenu
Dengan kepala soa disebut Ela Henahuhui dari marga Latukau

     III.        Soa Iyal Uli  atau biasa disebut Soa Hatalesy terdiri atas Lima Marga yaitu :
1.    Tawainlatu
2.    Latulanit
3.    Wakang
4.    Lauselang
5.    Pical
Dengan kepala soa disebut Ela Hatumena dari Marga Tawainlatu.


Pemerintahan Negeri Hausihu Morella terdiri dari beberapa perangkat yaitu :

1.    Badan Saniri Raja, dengan keanggotaan : Raja dan Kepala Soa Akte (Soa Tomasiwa, Soa Pisihatu, dan Soa Hatalesy). Badan saniri ini bertugas sebagai badan Eksekutif. Ditambah dengan Juru Tulis dan Marinyo.

2.    Badan Saniri Adat, dengan keanggotaan : Tiga Tuan Tanah Uka Tuhe, Uka Meten, dan Uka Hiti dari Luma Tau Sasole; Lembaga Adat Manu Saliwangi yang terdiri dari Salamoni (Sasole), Roto dan Umar (Sialana), Sekapuan (Latukau), Telapuan (Sasole), Tuni dan Tuhepopu (Latukau), Hatumena dan Tumban (Tawainlatu), Tenu Peha Pelu (Leikawa dan Thenu), Mahu Manu; Mahina Soa Tau Lua (Soa Malua) yaitu Dewan Wanita Adat Turunan dari Luma Tau Sasole dan Sialana. Mereka semua dikenal dengan sebutan “Tamulu Kau” (orang-orang yang berikat kepala merah). Mereka mempunyai tugas melantik raja secara adat dan memimpin upacara-upaca adat sekaligus Penasehat Raja. Badan Saniri ini memegang kekuasaan Legislatif.

3.    Badan Saniri Mesjid dengan pimpinan Uka Pesy (Wakang) dan Uka Hosong (Latukau). Uka Pesy membawahi empat Luma Tau Guru yaitu Luma Guru Lauselang (Uka Selang), Luma Guru Mony (Uka Anggodo Mony), Luma Guru Manilet (Uka Manilet), Luma Guru Ulath (Uka Maaling), dan Kasisi Mesjid yang terdiri dari Imam, Khatib dan Modin, yang diangkat dari Empat Luma Tau Guru tersebut di Bantu oleh dua orang penjaga dan pemegang kunci masjid dari Marga Thenu dan Malawat, mereka dikenal dengan sebutan ”Tamulu Putih”(orang-orang yang berikat kepala putih). Badan Saniri ini, selain bertugas dalam aktifitas di Masjid, juga bertugas membantu Raja dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan Syariat Islam.

Badan Saniri Besar keanggotaannya adalah : Badan Saniri Raja, Badan Saniri Adat, Badan Saniri Adat Masjid, Kepala-Kepala Keluarga dan Semua Orang Laki-laki Dewasa.    

Selayang Pandang Negeri Morella


Asal mula Negeri Morella adalah penggabungan dari beberapa Aman ( Hena) atau Negeri Lama, yakni Negeri Lama Kapahaha, Negeri Lama Iyal Uli, Negeri Lama Putulesi dan Negeri Lama Ninggareta. Keempat Aman atau Negeri Lama inilah yang membentuk suatu Aman atau Negeri Hausihu Morella.
Menurut tua-tua adat, leluhur yang tinggal di Negeri-negeri lama tersebut berasal  dari Ula Pokol. Ula Pokol merupakan pusat negeri pertama sejak dulu, juga merupakan tempat yang sangat disakralkan oleh masyarakat Morella karena dipercayai sebagai tempat hunian Roh-roh Gaib (Rijalal Gaib). Ula Pokol terletak di pegunungan Salahutu, mula-mula yang hidup ditempat tersebut adalah Uka Latu Tapil, Beliau berasal dari Timur Tengah. Uka Latu Tapil datang ditempat tersebut dengan membawa seekor burung Manulatu (Burung Raja).
Dikisahkan pula oleh para Tua-tua Adat setelah Uka Latu Tapil berada di Ula Pokol muncul tiga orang  yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai pendahulu atau penemu daerah baru tersebut, ditengah peredebatan sengit itu tiba-tiba mereka mendengar kicauan Burung Manulatu. Akhirnya mereka menyadari ternyata daerah itu telah berpenghuni dan mereka bertiga pun bersepakat untuk menemukan pemilik Manulatu tersebut. Ketiga orang tersebut adalah Tuhe, Meten dan Hiti. Tidak beberapa lama kemudian Tuhe, Meten dan Hiti menemukan orang yang dicari di Ula Pokol tersebut, saat itu dia sedang duduk bersemedi (Bersembahyang).
Dihadapan orang yang sedang duduk itu, mereka mengikrarkan “ Upu Tapil Ame” yang bermakna Tuanku Pelindung/Junjungan Kami, beliaulah Uka Latu Tapil. Tuhe, Meten dan Hiti kemudian dikukuhkan sebagai Hulubalang atau pengawal Uka Latu Tapil, selanjutnya Uka Latu Tapil kemudian meletakkan tiga buah batu di Salahutu sebagai “ Hatu Manuai Telu” atau Batu Tiga Tuan Tanah karena disinilah tempat pertemuan Tuhe, Meten dan Hiti.
Dalam perkembangan selanjutnya Tuhe Meten Dan Hiti meminang seorang putri yang bernama Hatuatina yang berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram) tepatnya di pusat tiga aliran sungai Eti, Tala dan Sapalewa di Nunusaku Salahua untuk menjadi istri Uka Latu Tapil, dari perkawianan itu Uka Latu Tapil dan istrinya memperoleh tujuh orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Dari ketujuh anak laki-laki tersebut hanya anak yang bernama Tuharela / Umarella yang menjalani kehidupan normal sebagai manusia, sedangkan keenam lainnya menjalani hidup sebagai Sufisme Tulen (Gaib). Tuharella beristrikan seorang perempuan yang bernama Alungnusa dari Pulau Seram. Dari perkawinan inilah melahirkan/beranak pinak  sebagian besar warga Morella sekarang.
Melalui proses perkawinan maka semakin banyak manusia di tempat itu (Ula Pokol) dan karena keadaan alam, merekapun  mengadakan perpindahan ke beberapa tempat di daerah pegunungan yaitu ke Ama Ela (Gunung Kukusan) kemudian berpindah lagi ke Kapahaha dan sebagian ke Iyal Uli, Ninggareta, dan Putulessy. Walaupun ke-empat negeri lama ini terpisah jarak satu dengan yang lain namun kehidupan mereka bersatu dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan, dimana pusat pemerintahan adatnya berada di Kapahaha yang saat itu pimpinan adat tertinggi di pegang oleh Tuhe, Meten, dan Hiti (Salamoni). Sementara pelaksanaan keagamaannya di pusatkan di Iyal Uli.
Dari abad keabad kehidupan empat negeri lama ini dalam keadaan rukun dan damai, sampai pada akhir abad ke-6 ketika Bangsa Penjajah bercokol di Maluku, ke empat negeri lama ini bersatu untuk mempertahankan wilayah mereka dari serangan kaum penjajah. Kapahaha kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk melawan kaum penjajah tersebut hal ini dikarenakan letaknya yang strategis dengan Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) sebagai panglima perang. Pada saat itu beberapa benteng pertahanan di Maluku sudah di taklukkan oleh Belanda sehingga para kapitan dan malesi dari daerah-daerah tersebut di tambah dengan bala bantuan dari daerah-daerah lain  bergabung di Benteng Kapahaha seperti dari Kerajaan Ternate,  Kerajaan Gowa, Tuban, Alaka, Huamual, Iha, Buru, Nusa Laut, Banda dan lain-lain. Mereka melakukan perlawanan terhadap kaum kompeni yang berlangsung dari tahun 1637 sampai dengan 1646.
Ketika pada tahun 1646 Kapahaha berhasil ditaklukkan oleh kaum penjajah Belanda, maka semua rakyat kapahaha, para kapitan dan malesi serta seluruh personil bantuan tersebut diturunkan dari Bentang Kapahaha dan ditawan di pantai Teluk Telapuan (Teluk Sawatelu Morella).
Setelah adanya pengumuman pembebasan tawanan perang kapahaha oleh gubernur Van Deimer, maka mereka mengadakan acara perpisahan sebelum kembali ke daerah masing-masing, dalam acara perpisahan itu di isi dengan lagu-lagu dan tari-tarian adat serta sekelompok Pemuda Kapahaha mengadakan Atraksi Pukul Sapu Lidi. Hari itu yang bertepatan dengan tanggal 27 Oktober 1646 mereka memberikan nama bagi Rakyat Kapahaha yang akan mereka tinggalkan dengan gelar Hausihu yang bermakna Kobaran Api Perjuangan (Kapahaha Hausihu Holi Siwalima).
Sementara itu, Rakyat Kapahaha Hausihu oleh belanda tidak diperkenangkan untuk kembali lagi ke Negeri Lama dipegunungan dengan maksud untuk memudahkan pengawasan Belanda terhadap mereka. Maka mereka kemudian menempati wilayah kurang lebih 3 km kearah selatan dari arah Sawatelu yaitu wilayah Morella sekarang dengan nama negerinya Hausihu Morella.
Negeri Hausihu Morella termasuk dalam wilayah Ulisailessy bersama dengan Negeri Liang dan Negeri Waai. Khususnya untuk Negeri Hausihu Morella terdapat beberapa dati-dati kecil seperti :
  1. Huta Haha sebagai dati Tuhe
  2. Ima Uli sebagai dati Manilet
  3. Sia’ Aman sebagai dati Sialana
  4. Uli Kau sebagai dati tawainlatu
  5. Uli Ina sebagai dati Leikawa
  6. Ninggareta sebagai dati Ulath
  7. Putulessy sebagai dati Latukau
  8. Sipil sebagai dati Lekai
  9. Ula Pokol sebagai dati Sasole

Surga di Tanah Leluhur



Tanjung Setan Morella, Foto: FKSB 2010
Negeri Seribu Pulau,…….Itulah julukan yang diberikan kepada Maluku, salah satu wilayah diujung timur Indonesia yang memiliki gugusan pulau-pulau dengan beraneka ragam budaya, bahasa maupun adat istiadat dan kekayaan alam yang berlimpah serta keindahan yang tiada tara.
Dari sekian banyak desa yang tersebar di wilayah Maluku, Morella merupakan salah satu negri adat yang menyimpan sejuta kelebihan dan keindahan. Terletak di Jazirah Leihitu, berdamping dengan dua desa lainnya yakni Negeri Mamala dan Negeri Liang, berjarak kurang lebih 35.km dari Kota Ambon, ibukota Propinsi Maluku. Perjalanan dapat ditempun selama 45 menit melalui jalan darat dari pusat kota Ambon (Terminal Batu merah).
Selain memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti ikan, cengkih,pala,kelapa dan sagu, Negeri Morella juga memiliki kekayaan alam lain dan belum tersentuh oleh perkembangan zaman. Beberapa objek wisata (Wisata bahari,Budaya dan wisata alam) yang dapat ditemui antara lain sbb :
1.    Benteng Kapahaha
2.    PantaiSawatelu
3.    PantaiLetan
4.    Pantai Tilepuai
5.    Taman Laut
6.    Tradisi Pukul Sapu Lidi
Benteng Kapahaha adalah salah satu benteng yang dibentuk oleh alam terletak di tanjung setan,kurang 200 m dari bibir pantai dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Berbagai peninggalan bersejarah berupa makam2 para pejuang dan benda2 kuno masih dapat dijumpai di tempat tersebut (sebagian besar telah disimpan di rumah Raja/Kepala Desa).
Pantai Sawatelu yang terletak di teluk sawatelu memiliki keindahan yang tidak kalah bila dibandingkan dengan objek wisata lainnya di wilayah Maluku. Pantai berpasir berukuran luas dengan panorama alam sekitar yang memukau dapat menjadi salah satu pilihan untuk melepas kepenatan setelah enam hari melaksanakan rutinitas yang melelahkan. Posisi pantai yang terletak di kelokan teluk sawatelu dengan aliran sungai ditengahnya memberikan nuansa tersendiri.
Bagi anda yang gemar berdiving, Sepanjang pantai sawatelu sampai di tanjung setan, terdapat taman laut yang tidak kalah indahnya dengan Bunaken. Taman laut yang memiliki beraneka ragam biota laut. Ikan-ikan beraneka rupa dan warna, gugusan karang-karang dalam berbagai bentuk yang menawan dan berbagai jenis biota lainnya.
Ketiga objek wisata tersebut (Benteng Kapahaha, Pantai Sawatelu dan Taman Laut) terletak saling berdampingan sehingga memberikan kemudahan bagi para wisatawan untuk menentukan pilihan tanpa harus merogoh kocek untuk berpindah-pindah lokasi. Ibarat kata pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali berkunjung, tiga lokasi wisata dikunjungi.
Konon kisah yang melahirkan tradisi pukul sapu berawal ketika terjadi pembebasan tahanan di benteng kapahaha oleh kolonial belanda di teluk sawatelu. Luapan kegembiraan sekaligus rasa haru yang bercampur dengan semangat patriotisme diaplikasikan dalam bentuk tindakan memukul diri sendiri dengan menggunakan sapu. Menurut catatan sejarah peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 7 syawal yang kemudian dikembangkan menjadi tradisi 7 syawal oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Dalam perayaan tersebut, selain atraksi pukul sapu juga ditampilkan tarian-tarian daerah seperti tari cakalele yang diiringi musik tradisional juga ditampilkan atraksi bambu gila. Dalam atraksi Bambu Gila penonton diberikan kesempatan untuk ikut mencoba unjuk kekuatan memegang bambu yang telah diisi dengan roh-roh para leluhur oleh sang pawang. Tentunya hal tersebut dapat menjadi satu pengalaman tersendiri bagi para wisatawan.


Ambon, Kamis 3 Februari 2011 | By: Fahmi Sialana

Kamis, 03 Februari 2011

Sensasi Kesegaran Jus Pala Morella


Pala (Myristica Fragrans Houtt) merupakan tanaman asli  Indonesia yang sangat dikenal oleh banyak orang baik dalam negeri maupun manca negara. Selain sebagai rempah-rempah, Pala juga berfungsi sebagai tanaman penghasil minyak atsiri yang digunakan dalam industry pengalengan, minuman dan kosmetik. 
Buah pala banyak digunakan untuk menghilangkan rasa mual atau gejala mabuk saat berkendara. Pasalnya, pala memiliki sifat antiemetik yaitu senyawa kimia yang bermanfaat mengatasi rasa mual. Senyawa kimia buah pala tersebut terdapat di kulit, daging, biji pala hingga bunganya (fuli).  
Kandungan minyak atsiri dan zat samak terdapat pada kulit dan daging buah pala. Sedangkan fuli atau bunga pala mengandung: minyak atsiri, zat samak dan zat pati. Bijinya sangat tinggi kandungan minyak atsiri, saponin, miristisin, elemisi, enzim lipase, pektin, lemonena dan asam oleanolat. Senyawa- senyawa kimia tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan, diantaranya dapat membantu meringankan rasa sakit dan rasa nyeri yang disebabkan oleh kedinginan dan masuk angin dalam lambung dan usus, insomnia (gangguan susah tidur), bersifat stomakik untuk memperlancar pencernaan dan meningkatkan selera makan, karminatif untuk memperlancar buang angin, antiemetik untuk mengatasi rasa mual mau muntah, nyeri haid dan rematik.
Biji pala dan fulinya banyak digunakan untuk bumbu masakan, sedangkan daging buah pala sangat baik dan sangat digemari oleh masyarakat jika telah diproses menjadi makanan ringan seperti asinan pala, manisan pala, selai pala dan lain lain serta dapat pula diolah sebagai bahan baku sirup dan jus. 
Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Koperasi dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat pedesaan dan peningkatan pangan local maka dalam hal ini  Koperasi Unit Desa “TOMASIWA” Morella-Ambon telah menjadikan pengolahan sirup dan jus pala sebagai salah satu unit usaha yang sangat diprioritaskan karena manfaatnya yang sangat tinggi baik untuk peningkatan pendapatan petani maupun khasiatnya bagi masyarakat.  Produk ini tidak terlepas dari dukungan United Nations Industrial Develoment Organization (UNIDO) yang ada di Maluku.  





 


Selasa, 01 Februari 2011

Menghadirkan Karaeng Di Kapahaha


Oleh :   Fuad Mahfud Azuz

Agustus lalu, di saat negeri ini memperingati kemerdekaan, saya bersilaturrahmi ke rumah Pemangku Adat Kerajaan Gowa, Andi Kumala Andi Idjo Karaeng Serang. Rumahnya terbilang sederhana untuk ukuran seorang pemangku adat. Orang tua Andi Kumala adalah Raja terakhir Kerajaan Gowa, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin yang meninggal tahun 1978 di Jongaya Makassar.  
Dalam silaturrahmi tersebut, kami membahas dua topik tentang hubungan  Gowa dengan Maluku. Pertama ketika perang Wawane dan Perang Kapahaha, dan Kedua, ketika penyelesaian konflik Maluku, Gowa menjadi tuan rumah penyelesaian dengan perjanjian Malino-nya.
Kami banyak membincang kehadiran pasukan Kerajaan Gowa di Maluku, pada masa perang melawan Belanda di Abad 17.  Kemudian juga menyinggung acara Pukul Manyapu yang berawal dari atraksi sebelum perpisahan dengan para pejuang Kapahaha. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 Oktober 1646 di pantai Sawatelu Negeri Hausihu  -  nama negeri lama Morella. 
Kehadiran saya di Sungguminasa Gowa, dalam rangka mengundang Pemangku Adat Kerajaan Gowa dan anak cucu tiga orang Karaeng (Karaeng Jipang, Karaeng Tulis dan Daeng Mangapa) untuk hadir pada perayaan Pukul Manyapu.  Di samping itu juga membuka silaturrahmi dengan Kerajaan Gowa. Karena selama dua tahun terakhir, kegiatan Pukul Manyapu Morella selalu dihadiri oleh Pengurus  Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) sebagai representasi dari anak cucu tiga orang Karaeng yang berperang di Kapahaha.
Undangan ini disahuti. Sang Pemangku Adat sangat bersuka cita untuk hadir pada perayaan Pukul Manyapu 7 Syawal.

SEKILAS JEJAK KARAENG
Di tengah perbincangan, ketika saya menyebut beberapa nama pimpinan pasukan Kerajaan Gowa  - antara lain; Karaeng Jipang, Daeng Mangapa, dan Karaeng Bontonompo, - Sang Karaeng (Andi Kumala), berdiri mengambil sebuah buku Inseklopedia Kerajaan Gowa dan memperlihatkan catatan tentang keterlibatan “Pasukan Karaeng” di berbagai daerah nusantara bahkan ke luar nusantara.
“Nama yang disebut tadi, seperti Karaeng Jipang, Karaeng Bontonompo, Daeng Mangapa, kalau masa  sekarang,  mereka minimal setingkat Brigjen”. Kata Sang Karaeng. 
Wah,…. mencengangkan. Betapa besar kekuatan yang dikirim oleh Kerajaan Gowa ke Benteng Wawane yang saat itu panglima perangnya adalah Kapitan Kakiali. Pasukan yang dikirim berjumlah sekitar 400 orang. Mereka adalah pasukan terbesar dari luar Jazirah Leihitu, ditambah dengan pimpinan sekaliber Karaeng Jipang dll.  Hal ini sekaligus menunjukkan kontribusi dan perhatian besar Kerajaan Gowa terhadap Maluku.
 Proses kedatangan diawali oleh permintaan Kapitan Kakiali pada Raja Gowa, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna (berkuasa tahun 1639 hingga 1653) untuk membantu perang melawan Belanda. Kemudian disusul dengan pengiriman cengkeh dalam jumlah relatif besar sebagai biaya bagi pasukan Karaeng.
Dukungan Karaeng sangat berarti pada Perang Wawane (Hitu I) dan menjadi sandungan bagi Belanda. Sehingga Belanda menggunakan politik de vide et impera dan membayar seorang berkebangsaan Spanyol untuk membunuh Kapitan Kakiali di saat tidur.
Setelah Kapitan Kakiali terbunuh dan Wawane jatuh, pasukan Karaeng berpencar di hutan-hutan Leihitu.  Mereka kemudian bersama Kapitan Tomol, Kapitan Patiwane, Imam Rijali, dan sejumlah pasukan lain bergabung ke Kapahaha. Kapahaha adalah benteng terakhir. Bukit batu terjal sesuai namanya, Kapa = tajam, haha = di atas.  Terletak sekitar 3,5 Km sebelah Utara Negeri Morella. Saat itu Panglima Perang Kapahaha adalah Kapitan Telukabessy.   
Menurut Imam Rijali, setelah rombongan tiba di Kapahaha, pembagian pos-pos pertahanan diatur. Pasukan Karaeng bergabung dengan Kapitan Patiwani dan Kapitan Tomol menjaga pos Iyal Uli. Pos pertahanan ini dekat Benteng Kapahaha.
            Sebelum Kapahaha jatuh, Karaeng Jipang dan Bontonompo bersama sebagian pasukannya kembali ke Gowa pada musim timur.  
Perang Kapahaha berakhir ketika Belanda berhasil mengetahui satu-satunya jalur menuju Benteng Kapahaha. Pada malam harinya, mereka melakukan serangan mendadak.  Pasukan Kapahaha kucar kacir. Kapahaha dibumihanguskan. Para pejuang banyak gugur. Sebagian yang selamat ditawan dan sebagian lainnya berhasil lolos, termasuk Kapitan Telukabessy, dan Imam Rijali.   
Setelah perang berakhir,  jejak pasukan Karaeng hingga kini kurang terungkap.  Informasi yang ada hanya seputar cerita sebuah batu di muara sungai Moki – sekitar 8 Km dari Morella ke arah Liang - yang biasa disebut “Batu Tete Bugis”. Selain itu, hanya menjelang acara Pukul Manyapu 7 Syawal, dilakukan pendekatan ke KKSS untuk mengahdiri acara mewakili 3 Karaeng. 

BERSAMA MENGUSIK SEJARAH
Perbincangan dengan Pemangku Adat Kerajaan Gowa di atas,  membangun mimpi indah saya.
Karena di Kabupaten Gowa sendiri ada rencana melakukan temu turunan Karaeng sedunia. Idenya agak wah,… Tapi bila ditilik pada langkah-langkah persiapan termasuk pagelaran Festival Kraton di Gowa pada bulan November nanti, maka  rencana ini sangat mungkin terlaksana. Agenda ini perlu disahuti sebagai upaya menapaktilas perjalanan sejarah, termasuk sejarah keterlibatan Pasukan Karaeng di Perang Wawane dan Kapahaha.
Lalu, dalam konteks  kekinian, apa yang dapat diambil oleh masyarakat Maluku terutama bagi wilayah-wilayah yang pernah berperang bersama melawan penjajah.
Jelas, bahwa jejak kebesaran Kerajaan Gowa dan pengaruh tokoh asal Sulsel secara umum di pentas nasional sekarang jadi pertimbangan. Tampilnya Jusuf Kalla sebagai Wapres, Riyaas Rasyid, Andi Alfian dan Rizal Mallarangeng, Syahrul Yasin Limpo – Gubernur Sulsel keturunan Karaeng Bontonompo - serta  sederet nama  orang Sulsel memberikan kontribusi signifikan yang membawa harum nama Indonesia Bagian Timur, menjadi peluang yang perlu disikapi sebaik mungkin. 
Minimal, perhatian yang diawali dengan keterpanggilan membangun sejarah bersama, dapat digunakan untuk mengangkat sejarah kebesaran para kapitan yang tertinggal jauh dibanding dengan Pahlawan Maluku; Kapitan Pattimura dan Martha Christina Tiahahu.
Lalu, bagi masyarakat Maluku, rencana kehadiran Pemangku Adat Kerajaan Gowa di pentas Pukul Manyapu merupakan kehormatan besar. Perayaan budaya ini penting untuk dikemas cantik dan menarik dengan tetap berdasar akurasi sejarah perjuangan. Karena dengan event adat berlatar belakang sejarah yang dikemas “cantik”, perasaan memiliki sejarah akan menjadi pendorong membangun event yang lebih “menasional” di kemudian hari.
Wawane dan Kapahaha (Perang Hitu I dan II) adalah perang berskala besar yang melibatkan Kerajaan Gowa, Ternate, Kerajaan Mataram (Jogja) dan hampir seluruh perwakilan dari wilayah Maluku. Masa perangnya juga lebih dari 13 tahun (Wawane tahun 1633 – 1643 dan Kapahaha tahun 1637 -1646).     
Di sisi lain, kemampuan mengorganisir event besar masih menjadi kendala internal di Morella. Kelemahan internal ini penting dijadikan warning dalam  mengemas event secara baik, persiapan lebih matang,  apalagi dengan rencana kehadiran Sang Karaeng.
Sedang bagi KKSS dan masyarakat Maluku asal Sulsel saatnya untuk lebih proaktif melakukan pendekatan guna mengambil peran dan bahu membahu membuka simpul-simpul kerjasama yang lebih baik dengan negeri-negeri yang memiliki sejarah bersama.   
Karena dengan menghadirkan Karaeng, kita sebenarnya sedang menata ulang pondasi sejarah bangsa yang kokoh.  
Allahu a’lam.

Fuad Mahfud Azuz     
Ketua YPI Al-Wathan Ambon
Sekretaris Kerukunan Masyarakat Morella (KMM) Ambon.
Tulisan ini pernah dimuat di Ambon Ekspres tanggal 22 septem,ber 2008

Kunjungan Putra Mahkota Kerajaan Gowa (Andi Kumala Ijo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang) di Perayaan  Pukul Sapu Lidi Negeri Morella tahun 2008. (foto: Mubarak Leikawa)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger