Rabu, 26 Januari 2011

Sajak di Bawah Pohon Mintanggur


Di bawah pohon mintanggur kami duduk berhadapan
Saling mengukur dalamnya laut yang telah kami pahat
Lalu berebut dengan waktu ‘tuk menulis cerita di pasir

Lutut kami telah tinggal sejarak
Telah sampai di hidungku wangi badannya
Sambil terus menghirupnya, kukatup mata karena kalah bertaut dengannya

Wangi itu menjalari semua ruang tubuhku
Kepalaku telah kuteduhkan di dadanya
Hmhm..sambil ku genggam tak lepas ujung kebayanya

Lalu tiba saat perahu itu datang menghampiri kami
Ku tau kapata terakhir akan segera dinyanyikannya
Karena bunyi suling mulai melengking putus putus

Auw ana’u ee.. terbanglah mengikuti mimpi
Bukalah sayapmu menutupi langit
Telingakan pada semua akan asalmu

Berumahlah di sana meski aku tetap di sini
Aku sedikitpun tak meragukanmu
Karena di tiap malam sejak kau kecil telah kutiup ubun-ubunmu,
untuk nyanyikan alamat di mana ku tanam ari-arimu

Pergilah rebut mimpimu
Aku sedikitpun tak meragukanmu
Karena ku tahu kau tak mampu berpaling dariku

Berlayarlah jauh-jauh selama laut masih berwarna biru
Aku sedikitpun tak meragukanmu
Karena ku yakin kau tak mampu mencungkil ari-arimu di sini,
Di tempat kita duduk..

Yogya, 31 Maret 2010.


Mintanggur = Pohon kayu besar mirip beringin yang tumbuh di pinggir pantai
Kapata = Nyanyian dalam bahasa daerah, biasanya mengisahkan kepahlawanan, nasihat, atau cerita tentang asal muasal negeri/kampung.
Auw ana'u ee = anakku

Mama-mama ada tuang papeda. Lia, katong pung ewang masih sadia kayu par mamasa (Bhs Melayu dialek Ambon) = Ibu-Ibu sedang memasak papeda, makanan khas orang Maluku. Lihatlah, hutan kami masih menyediakan kayu bakar untuk memasak.
(Foto : Ida Azuz, Morella, 2009).

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger