Rabu, 09 November 2011

Membangun Negeri dengan adat… “Tulehu Melakukan Ritual Abda’u – Morella Melantungkan Tun Teha Usai”

Sebuah catatan bersama MPC
 

Luar biasa perjalanan kemaring sangat melelahkan, tapi itu bukanlah suatu penyesalan untukku. Minggu 6 November 2011, usai sholat idhul kurban saya bersama dengan teman-teman MPC ( Maluku Photo Club) melakukan Hunting bersama di Negeri Tulehu yang jaraknya tidak jauh dari Pusat kota Ambon.
Negeri Tulehu yang juga merupakan ibu kota kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah ini terletak 25 Km sebelah utara Kota Ambon, seperti masyarakat Muslim lain pada umumnya, Negeri Tulehu juga melakukan perayaan Hari raya idul Adha, Uniknya di Negeri Tulehu selain adanya penyembelihan hewan kurban mereka juga melakukan upacara ritual Kaul Negeri yakni proses pengkaulan hewan kurban, Abda’u dan hadrat, yang menurut sejarahnya sudah dilakukan sekitar tahun 1600 M,
Proses Pengkaulan hewan kurban dilaksanakan dirumah Masjid Jami Tulehu oleh Ibu-ibu selanjutnya dikapankan dengan kain putih atau dalam bahasa Tulehu yaitu Kain Salele, diantarkan kerumah raja untuk selanjutnya diarak keliling negeri, alunan zikir dan salawat Nabi pun mengiringi langkah demi langkah menuju pelataran Masjid raya Tulehu untuk dilakukan penyembelihan.
Tidak sampai disitu saja Nampak pemandangan unik tersebut, saya juga dikagetkan dengan datangnya sekelompok pemuda dengan berbaju putih serta ikatan putih dikepala masing-masing berkumpul di depan rumah Raja Negeri Tulehu sambil Berteriak Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, benar-benar bikin merinding, saya langsung menghampiri salah seorang warga Tulehu untuk menanyakan ritual tersebut, dan dia pun menjelaskan bahwa inilah Abda’u.
Setelah mendapat sedikit penjelasan serta menyaksikan langsung ritual tersebut saya pun bergegas untuk lebih dekat menghampiri Rumah Raja Negeri Tulehu, sesampai disana ternyata John Saleh Ohorella yang tak lain merupakan Raja Tulehu sedang memberikan arahan dan nasehat kepada pemuda-pemuda yang akan melakukan Abda’u tersebut , dan saya pun turut mendengarkannya, sambil berdiam diri sempat terpikirkan dalam benak saya bahwa begitu kayanya Bangsa Indonesia akan budaya serta adat istiadat, khususnya di Maluku hampir disetiap desa/Negeri memiliki kekayaan budayanya masing-masing, misalnya Tulehu adanya Abda’u, Mamala- Morella melaksanakan Atraksi Pukul Sapu Lidi, Pelau dengan ritual cakalele (mengiris tubuh sendiri) atau dalam bahasa tanahnya Ma’atenu, dan masih banyak lagi adat istiadat Maluku, benar-benar luar biasa, budaya inilah yang justru jadi daya tarik para pengujung untuk datang ke Negeri tersebut.
Usai mendengarkan arahan dari Raja Tulehu, para pemuda tersebut langsung melakukan Abda’u dengan berebutan Benderah Hijau yang bertuliskan Laillaha Illah Muhammaddarussallah, sambil melantungkan takbir Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, jika ada pemuda yang bisa mendapatkan bendera itu maka diciumnya bendera tersebut dengan penuh semangat kemudian dikibarkan lagi walau tubuhnya harus ditarik oleh pemuda lainnya, asalkan Bendera tersebut tetap diatas dan tidak boleh bersentuhan dengan tanah.
Abda’u sendiri berasal dari kata Abada yang artinya Ibadah yang bermakna pengabdian seorang Hamba pada Sang Halik. Atraksi dinamis yang dilakoni oleh ratusan pemuda itu saling berdesak-desakan, bahu membahu merebut bendera untuk diangkat setinggi-tingginya, merupakan refleksi pengakuan kehambaan yang tulus dalam menerima Islam sebagai agama yang diyakini, untuk tetap lestari dan abadi dibumi Haturessy, sementara Bendera yang berwarna hijau tersebut melambangkan kesuburan dengan tulisan LAILAHA ILLAH MUHAMMADARRSULULLAH, berwarna kuning emas melambangkan kemakmuran dan kejayaan.
Siang itu, cuaca cukup bersahabat untuk kami, tidak hujan namun juga tidak begitu panas, Alunan zikir, tahlil, salawat serta takbir bergema di bumi Tuiruhui (Tulehu), semua jalan di padati masyarakat lokal maupun interlokal. Sementara itu, teman-teman MPC lainnya tengah sibuk dengan kameranya masing-masing untuk mendokumentasikan moment tersebut. Begitu meriahnya perayaan hari raya idhul Adha 2011 di Negeri Tulehu, dengan dipentaskannya beberapa atraksi dan carnaval budaya lainnya, sangat menghibur dan berkesan bagi setiap yang berkunjung.

Tun Teha Usai
Tun Tun Tun Teha usai e..
Marika asing jawa pamatere pipi waing..
Tun Tun Tun Teha usai e..
Marika asing jawa pamatere pipi waing..
Itulah sebait lagu daerah dari Negeri Morella, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.
Usai menyaksikan ritual Abda’u di Negeri Tulehu, kami pun pulang ketempat masing-masing, keesokan harinya belum juga selesai tidur panjang ku.. sudah terdengar nyanyian anak-anak negeri dengan memukul rebana sambil berhenti disetiap rumah warga untuk mengambil sumbangan bumbu masakan daging hewan kurban, dengan tetap menyanyikan lagu Tun Tun Tun Teha usai e Marika asing jawa pamatere pipi waing. Warga pun sudah siap dan ikhlas memberikan sumbangan bumbu masakan kepada anak-anak tersebut, bahkan ada yang menyumbangkan kayu bakar, setelah semuanya terkumpul barulah anak-anak tersebut menyerahkan kepada panitia Hewan Kurban, yang kemudian digunakan untuk memasak daging hewan kurban yang sudah disembelih pada saat Idhul Adha tersebut. Sangat lucu, menggelitik bila melihatnya, saya jadi kebayang masa kecil dulu. Namun Tradisi ini hanya bisa dilakukan setahun sekali di Negeri Morella, sehari setelah perayaan hari raya Idhul Adha.
Itulah sedikit cerita tentang tradisi dan budaya yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat adat di Negeri Raja-Raja (Al-Mulk) Maluku Manise..
========================********************==========================
Sumber/penulis: Rusda Leikawa 

Sabtu, 22 Oktober 2011

Map Negeri Morella Pulau Ambon


Lihat HAUSIHU MORELLA di peta yang lebih besar

Minggu, 16 Oktober 2011

Yasin dan Jus Pala ala Desa Morella



KOMPAS.com - Tangan dingin Yasin Sialana (47) membuat daging pala yang acap tidak dimanfaatkan menjadi jus pala yang bernilai tinggi. Tak berhenti di situ, pengolahan menjadi pasar baru bagi petani pala dan lapangan kerja baru bagi warga.

Jus pala Morella, demikian merek yang ditera. Namanya mengacu pada nama desa tempat jus pala dibuat, yaitu Desa Morella di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, 40 kilometer dari Ambon.

Sudah hampir tiga tahun jus pala ini diproduksi oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Toma Siwa yang dipimpin Yasin. Pembuatan jus pala ini dimulai setelah Yasin mengikuti pelatihan pengolahan daging pala menjadi sirup yang dibuat United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) tahun 2008.

Dari situ dia menyadari kalau daging pala itu bisa bernilai tinggi. Namun bukannya mengolah daging pala menjadi sirup, dia justru mengolahnya menjadi jus. ”Kalau sirup pala sudah banyak saingannya. Selain itu, saya ingin membuat minuman dari pala yang praktis, bisa langsung diminum, tanpa harus mencampur lagi,” katanya.

Dorongan untuk mengolah daging pala ini berangkat pula dari realita banyaknya daging pala yang dibuang saat panen pala di Morella. Hanya fuli (bunga pala) dan biji pala yang diambil dan dijual petani pala. ”Kalaupun daging pala diolah, hanya dibuat manisan. Itu pun hanya sedikit dan dikonsumsi sendiri,” ujarnya. Padahal jika diolah, petani memperoleh penghasilan tambahan. Selain itu, bisa membuka lapangan pekerjaan baru.

Selama hampir dua bulan setelah pelatihan, pria yang juga berprofesi pegawai negeri sipil di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Maluku ini mencoba berkali-kali mengubah resep pembuatan sirup pala untuk membuat jus pala. Sampai akhirnya setelah dua bulan, dia menemukan takaran yang pas. ”Pengolahannya sama dengan sirup pala, hanya air masak yang digunakan lebih banyak untuk mengurangi tingkat keasaman pala, dan jumlah gula yang digunakan dikurangi agar jus pala nantinya tidak terlalu manis,” jelasnya.

Berbekal ”izin kesehatan” atas jus pala yang sudah keluar dari Dinas Kesehatan Maluku dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Yasin mulai memproduksi 1.000 botol kemasan jus pala yang setiap botolnya berisi 290 mililiter jus pala. Setiap botol dijual hanya Rp 2.500, padahal biaya memproduksi mencapai Rp 3.500. ”Sengaja jual rugi untuk promosi,” tambahnya.

Jus pala dijual di acara pemerintahan, atau langsung kepada masyarakat. Dalam sebulan, semua jus pala sudah terjual. Tak hanya itu, permintaan lebih banyak mulai berdatangan. Untung Rp 16 juta

Dari situlah, bapak dari dua anak ini mulai berinisiatif meningkatkan produksinya dan secara bertahap meningkatkan harga jual sehingga bisa untung. Peningkatan produksi ini terbantu adanya kredit bergulir dan bantuan peralatan dari Pemerintah Provinsi Maluku dan peralatan dari UNIDO.

Kini, KUD Toma Siwa bisa memproduksi 20.000 botol jus pala dari 400 kilogram daging pala dalam periode dua minggu. Setiap botol dijual Rp 4.500. Keuntungan bersih Rp 16 juta.

Jus pala ini kebanyakan dijual di Ambon. Tersedia di sejumlah restoran dan supermarket. Selain Ambon, per Maret 2011, jus pala dijual juga di gedung SMESCO (Small and Medium Enterprises and Cooperatives) di Jakarta. Tak sampai sebulan, 552 botol jus pala yang ditawarkan terjual.

Dengan pengolahan ini, daging pala di Morella yang sebelumnya tidak terlalu bernilai, menjadi bernilai. Daging pala dibeli dengan harga Rp 5.000 per kilogram.

Pengolahan pala ini pun menjadi lapangan kerja baru. Sembilan warga dipekerjakan untuk mengolah jus pala. Mereka yang bekerja ini sengaja dipilih dari keluarga kurang mampu. Mereka mendapat upah 70 persen dari keuntungan bersih. Jika produksi sampai 20.000 botol, maka setiap pekerja memperoleh upah Rp 1,2 juta. Sisanya 30 persen masuk ke kas koperasi.

Karena manfaat pengolahan yang besar inilah, Yasin berencana terus meningkatkan produksi dan memperluas pemasarannya, baik di Maluku ataupun ke luar Maluku, seperti Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Rencana ini karena permintaan yang mencapai tiga kali lipat dari yang bisa diproduksi oleh KUD Toma Siwa.

Selain itu, potensi daging pala pun masih besar. Menurut Yasin, jumlah daging pala yang dipakai untuk pengolahan jus pala hanya sekitar dua persen dari jumlah daging pala yang ada setiap kali panen.

Hanya saja tidak mudah merealisasikan rencana ini. Mahalnya biaya pengiriman ke luar Maluku menjadi salah satu kendala. Jika dipaksakan, maka harga setiap botol jus pala Rp 8.000 per botol atau dua kali lipat dari harga di Ambon. ”Sulit bisa bersaing,” ujarnya.

Beberapa strategi disiapkan Yasin, salah satunya membuka unit produksi baru di Jawa. Dia tidak ingin sukses yang telah diraih sekarang berhenti. Dia sadar, semakin besar usaha jus palanya, kesejahteraan masyarakat Morella semakin meningkat. (A Ponco Anggoro)

Sumber: KOMPAS CETAK

Rabu, 12 Oktober 2011

Lirik Lagu Mari Membangun Maluku

Judul: Mari Membangun Maluku,
Pencipta: Anton de Lima,
Penyanyi: Sar de Lima,  Hiti Group,
Album: Mari Membangun Maluku,
Studio: Frangky Mewar Laha Ambon,
Tahun : 2003.

DARI DOLO …KATONG SU HIDOP
MANIS MANIS LAWANGE…
MANGAPA SAMPE KATONG SU JADI
ANCOR BAGINIE… (SIO SAYANGE)

*
JANG TAGAL DENGAR ORANG ORANG PUNG MULU
LALU KATONG BAKU CERE (CERE CERE GANDONGE)
CERE GANDONGE
MARI SAMA SAMA (SIO PELAE)
BERGANDENGAN TANGAN
BANGUN MALUKU MANISE

**
MESKI KATONG SATU DI WAAI … (WAAI MANISE)
SATU DI MORELLA…
SIO…  JANGN LUPA (SIO GANDONGE)
IKATAN PELA MANISE

SAGU SALEMPENG PATA DUA
HIDOP SUDARA
DARI DOLO MOYANG MOYANGE…

POTONG DI KUKU SIO BETA RASA (RASA SAKI E)
PALING RASA DI DAGINGE
APALAI MAU BAKU CERE (CERE CERE GANDONGE)
CERE GANDONGE

MARI SAUDARA PELA (SIO PELA…E)
PELA DENG GANDONGE
KATONG MEMBANGUN MALUKU

Free Mp3 Mari Membangun Maluku
Free Video Mari Membangun Maluku

Lagu-lagu Hiti Grop yang lain:
  • Satu Moyang Tuharela
  • Uli Pitu
  • Lagu Ambon
  • Novita
  • Inae
  • Lau Hee Aman
  • Kadera Penganting Baru
  • Nona Namlea

Jumat, 09 September 2011

Achmad Leikawa – Kapitan Telukabessy

Baju perang milik Kapitan Telukabessy yang masih tersimpan
di rumah tua marga Leikawa (foto: FKSB 2006).

Nama aslinya adalah Achmad Leikawa, anak dari Syekh Barainela  marga Leikawa. Achmad leikawa dilahirkan ditengah-tengah rumah leikawa di Negeri Kapahaha. Ibunya bernama Nyai Luhu berasal dari Huamual. Pada usia 3 tahun ayahnya meninggal dunia, sehingga ia diasuh oleh kakeknya dengan memberikan ilmu agama dan ilmu kapitan.  Sejak kecil Achmad Leikawa sudah menunjukkan sikap ksatria dan pemberani. Ia selalu menggiatkan kawan-kawanya berlatih siasat perang, lomba mendaki, sepak betis, loncat gaba-gaba dan pertandingan sapu lidi.

          Kira-kira pada tahun 1614 M sebuah kapal portugis berlabuh dipantai Hitu, Achmad Leikawa mencoba ilmu yang diajar oleh orang tuanya dengan menyelam ke dasar laut sambil menyerupai seekor ikan dan membawa sebilah pahat dan hamar untuk melubangi kapal tersebut. Karena kapal bergerak, awak kapal memeriksa kapal dan hanya menemukan seekor ikan. Kapal akhirnya tenggelam, para awak mencari jalan untuk menyelematkan diri, dan nakhoda kapal itu diculik kemudian dibunuh, kepalanya dipancung dan diantarkan ke Benteng Kapahaha kemudian dipertontonkan didepan Baeleo Tomasiwalima. Pada saat itu malesi-malesi di Benteng Kapahaha sepakat mengangkat Ahmad Leikawa sebagai kapitan muda dan orang terdepan di Benteng Kapahaha. Pada tahun-tahun itu timbul perang Nusaniwe di jazirah Leitimur, Telukabessy diutus sebagai pimpinan bersama Lekalahabesy, Tuhepopu dan Tumbessi masing-masing dari marga Leikawa, Ollong, Latukau dan Wakan. Yang mengutus ini ialah empat perdana tanah Hitu, untuk membantu empat perdana Nusaniwe, yaitu Patilupa, Latuhalat, Lisakota dan Patinaila. Ketika kekuasaan Empat perdana dihapuskan dengan jatuhnya benteng Wawane melalui instruksi Gubernur VOC Gerard Demmer, maka dibenteng Kapahaha dibentuk sebuah dewan atau lembaga adat yang bernama Saliwangi dan berfungsi sebagai pengganti empat perdana.

          Dalam stuktur lembaga adat saliwangi Telukabessy menempati urutan ke sepuluh yang menangani urusan pertahananan dan Keamanan. Karena VOC memusatkan perhatian untuk menumpas pertahanan Benteng Wawane dan jazirah Huamual, maka pertahanan Benteng Kapahaha diperkuat oleh Telukabessy dan seluruh rakyatnya. Pada tanggal 27 Desember 1637 disaat Kapitan Kakiali di asingkan oleh VOC, Telukabessy mengumumkan perang terhadap Belanda.

          Pada tahun 1643, beberapa benteng perlawanan rakyat telah dikalahkan oleh Belanda termasuk benteng Wawane. Maka Telukabessy mengambil 2 kebijakan.
  1. Mengadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh 13 Kapitan dari selurjuh daerah yang tadinya berjuang secara terpisah dalam bentuk satuan yang diberi nama SIWA LIMA dan pertemuan itu pula  mengukuhkan Telukabessy sebagai Kapitan Besar dengan pusat perjuangan di Benteng Kapahaha.
  2. Pada pertemuan yang dimaksud juga ditetapkan suatu badan pemerintahan mencakup daerah Siwa Lima yang terangkum dalam wadah beserta simbol SOLE PALI HANU SOUHATU.

Pada saat-saat itu Belanda mendirikan markasnya di teluk Telepuan (Sawa Telu) yang dipimpin oleh Jacob Verheiden dan Frans Lindard dan Gerard Demmer sebagai Gubernur di Ambon. Kapitan Telukabessy mengumumkan perang melawan Belanda dengan semboyan kepada rakyatnya Lana mena hiti hala, lisa haulala – Maju terus pantang mundur dengan semangat berapi-api. Kapitan Telukabessy (Achmad Leikawa) membakar semangat rakyat dengan kata-kata penyemangat antara lain Kakula seli eka kula lala- Kemerdekaan hanya dapat ditebus dengan darah. Karena kita telah lewati genggaman portugis, kita sedang berhadapan dengan Belanda. Patia sou asu, patia sou pisu- terlepas dari mulut anjing, tertelan pada mulut ular, Maksudnya bebas dari belenggu portugis, terjajah dengan Belanda.

Perang Kapahaha berlangsung selama 9 tahun yaitu terjadi antara tahun 1637 – 1646. Dalam kapata disebutkan Kupa ai Kapahaha nala nale siwa yaitu sembilan tahun lamanya. Dalam catatan Rumphius yang diterjemahkan : Karena Telukabessy telah umum perang pada tanggal 27 Desember 1637 itu, maka putusan pembesar Belanda agar Kapahaha harus direbut dengan kekerasan. Saat itu gubernur Demmer memberangkatkan 3 buah kapal dan 35 buah kora-kora pada tanggal 13 april berpangkalan di teluk telepuan atau sawatelu. Dan markas mereka bertempat disitu, karena didepan Kapahaha tidak ada tempat mendarat sebab itu sepanjang pantainya tebing-tebing yang curam dan pantai pasirnya sangat sempit diantara batu-batu karang. Waktu itu Jacob Verheiden dengan 210 serdadu matrosnya diberangkatkan dari mamala untuk menyerbu dari belakang benteng Kapahaha, tapi tak ada petunjuk jalan, maka tak berhasil.

          Karena kokohnya pertahanan di Benteng Kapahaha sehingga sangat sukar diterobos oleh pasukan Belanda (VOC). Namun Belanda berhasil menangkap Yata Pori seorang wanita staf penyelidik Kapitan Telukabessy. Pori ditodong dan diberi sekarung beras yang telah dilubangi kemudian dibebaskan. Saat kembali ke Benteng Kapahaha beras  yang jatuh menjadi petunjuk jalan bagi pasukan Belanda untuk masuk ke Benteng Kapahaha.

          Pada pagi hari 25 juli 1646 Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Frans Leindard telah berhasil memasuki benteng Kapahaha. Perang berkobar dengan hebat. Dalam kapata diceritakan Letesi sarele elya Kapahaha......nala puti hee hale fajar heelia. Kapal-kapal VOC  menembakkan meriamnya ke arah benteng. Dari belakang Frans Leindard dengan pasukannya melancarkan tembakan pula.

          Saat itu Kapitan Telukabesi memberikia instruksi kepada penghuni Kapahaha yang tidak memegang senjata untuk mencari perlindungan di gua-gua. Dalam Kapata dijelaskan Nunu yambale seli eka pale mahu. Dan sebagian penduduk mengungsi ke Lataela dan yalo uli- Lumai nasi waa elya Lataela lumai nasi waa elya Yalo Uli. Pasukan Kapahaha dan pasukan bantuan makasar yang dipimpin oleh Karaeng Tulis, Karaeng Jipang dan Daeng Mangkapa terus melakukan perlawanan. Pertempuran berlangsung dua hari dari tgl 25-27 Juli. Darah para pejuang telah membasahi negerinya menambah semangat juang pasukan Kapahaha yang bertahan mati-matian, Lisa pasalita nitai rula uli rakula kapa-kapa- korbankan jiwa kita kampung halaman kita demi kemerdekaan. Elia kapahaha lia putu mahalasa- Benteng Kapahaha telah menjadi lautan api. Nahu mata waya bumi yane rasa-mereka bersedih bercucuran air mata jatuh ke Bumi. Pada pertempuran ditanggal 27 Juli  1646 istri Kapitan Telukabessy – Putijah Leikawa Van Derhagen - gugur menjadi Bunga Bangsa. Sedangkan Kapitan Telukabesy selamat dan diamankan oleh Kapitan Patinama, seorang pembantu kapitan Mahubesy. Mereka melalui gunung lataela dan beristirahat di benteng Alaka pulau Haruku. Benteng Kapahaha berhasil direbut oleh Pasukan Belanda, para malesi dan kapitan yang masih hidup beserta rakyat Kapahaha ditawan oleh pihak Belanda.

          Karena rakyat ditawan dan dijadikan sandera maka Kapitan Telukabesi menyerahkan diri sebagai tembusan bagi rakyatnya. Pada tanggal 3 September 1646 Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman  mati oleh Belanda. Sedangkan para kapitan dan malesi yang ditawan dibebas pada tanggal 27 oktober 1646. Sebelum menemui ajalnya ditiang gantungan Kapitan Telukabessy memberikan pesan:

Atumu tapulu himabuku peia maahunia lisa Kapahaha hinia
Kukirimkan sanjungan hormat untuk kampung halamanku serta pejuang-pejuang Kapahaha yang tercinta.
Pamasun Ina Luhu runa yana walia
Ibuku Ina Luhu dan semua keluargaku kupersembahkan keresaanmu
Nusai kakiela kapa lima kapa yai
Tetap bertalian kemerdekaan bangsa dan tanah air serta setia kepada rakyat
Meu rula molo sahi yana walia
Biar korban jiwa dan dilenyapkan bakal ada generasi mendatang.
          Kini perang Kapahaha telah berakhir tapi semangat Kapitan Telukabessi akan tetap terjaga di hati Telukabessy-telukabessy muda.





FKSB 2011

Negeri Lama “IYAL ULY” Morella

Bekas Pondasi Masjid di Iyal Uli (foto: FKSB 2006)
Iyal Uly merupakan salah satu negeri lama di Negeri Morella yang dikenal sebagai pusat keagamaan, dan letaknya  ± 2,5 km ke arah selatan Negeri Morella.

Negeri Morella terbagi dalam 3 soa,  masing-masing terdiri dari beberapa rumah tau dan dipimpin  oleh seorang  Kepala Soa. pembagian mata rumah tau untuk setiap soa berdasarkan asal negeri lama salah satunya adalah negeri lama Iyal Uly.
Soa Iyal Uly  atau biasa disebut Soa Hatalesy terdiri atas lima marga yaitu Tawainlatu, Latulanit, Wakang, Lauselang dan Pical dengan kepala soa disebut Ela Hatumena dari marga Tawainlatu.

Negeri Morella sebagai satu Negeri Adat yang terletak di daratan jazirah leihitu memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang sangat menarik untuk dikaji, salah satunya  adalah dari sudut pandang perkembangan islam. Negeri Morella adalah salah satau daerah penyebaran islam di wilayah jazirah leihitu, hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan peradaban islam dahulu kala yang masih dapat ditemukan sampai saat ini.

Masuknya agama islam di Negeri Morella dimulai sejak abad ke-8 M yang dibawakan oleh penyiar islam dari timur tengah. Karena lepas dari percaturan politik yang terjadi pada zaman mu’awiyah di timur tengah, para mubaligh telah keluar membuka ekspansi dakwahnya, baik yang terpancar melalui gaungnya kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara maupun dinasti Tang di Negeri Cina.

Pesatnya perkembangan islam di Negeri Morella pada waktu itu, menjadikan masyarakatnya yang religius dan taat beribadah. pada saat terjadi perlawanan terhadap bangsa kolonial Belanda di Benteng Kapahaha, semangat perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) pada waktu itu sangat berapi-api karena dipengaruhi oleh ajaran jihad fi sabilillah yaitu jihad di jalan Allah melawan para kaum kafir (Belanda), hal ini sebagaimana yang diceritakan  oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu.

Sementara itu, karna Iyal Uly sebagai pusat keagamaan maka sampai saat ini di Negeri Morella para pengrus masjid atau dalam istilah masyarakat Negeri Morella disebut “Parenta” seperti imam, khatib, modin dsb, adalah orang-orang dari keturunan leluhur yang pernah tinggal di Negeri lama Iyal Uly yakni  salah satunya adalah marga wakang yang dijuluki dengan sebutan Pesy  yaitu orang yang menduduki jabatan tertinggi di mesjid (penguasa mesjid atau pengarah pengurus mesjd), dan Latulanit / Lauselang sebagai imam dan khatib.
Jejak perkembangan islam di Iyal Uly sebagai pusat keagamaan pada masa itu masih dapat ditemukan sampai saat ini yaitu berupa pondasi masjid tua Iyal Uly dan “halwat” yaitu tempat yang digunakan oleh para penyiar islam untuk meminta petunjuk Allah. selain itu, beberapa mushaf al-qur’an tua yang ditulis dengan tangan juga masih dapat ditemukan sampai sekarang.

Peninggalan-peninggalan  tersebut sampai saat ini memang masih dapat temukan namun kondisinya kian hari semakin memprihatinkan. Lingkungan yang kurang menudukung baik dari fakor alam maupun manusia membuat benda-benda tersebut hampir punah. Hal ini tentunya sangat disayangkan  mengingat tingginya nilai historis yang dimilikinya. Sampai saat ini memang belum ada langkah-langkah penanganan khusus dari pihak-pihak terkait utamanya pemerintah terhadap benda-benda bersejarah tersebut, meskipun demikian langkah-langkah perawatan seadanya sampai kini masih tetap dilakukan oleh masyarakat meskipun hal itu tidak terlalu maksimal mengingat keadaan masyarakat yang serba terbatas.

Harapan kita semoga saja kesadaran semua pihak untuk tetap melestarikan benda-benda bersejarah tersebut tidak pudar dimakan zaman, agar ia akan selalau bercerita kepada generasi mendatang atas perjuangan dan pengorbanan leluhur serta spirit islam yang pernah membangkitkan negeri ini. amin.


FKSB 2011

Prosesi Adat Pernikahan di Negeri Morella

Seperti biasa proses pernikahan masyarakat muslim pada umumnya di awali dengan proses peminangan, begitu juga dengan Negeri Morella. 

PEMINANGAN
Di Negeri Morella Peminangan di laksanakan atas persetujuan dari kedua belapihak terlebih dahulu yang di hadiri oleh paman dan bibi dari kedua belapihak sebanyak 12 orang yang terdiri dari 6 orang  dari pihak laki-laki (3 paman dan 3 bibi) demikian juga dari pihak perempuan, sekaligus dengan perundingan untuk penetapan tanggal pernikahan dan penentuan saudara  kawin dan saudara makan telur.
Saudara kaweng adalah seorang laki-laki pendamping pengantin yang memiliki hubungan keluarga dengan mempelai perempuan dan biasanya di panggil oleh pengantin laki-laki dengan sebutan kauu dan di panggil pengantin perempuan dengan sebutan le’uu.
Saudara makan telur adalah seorang perempuan yang juga memiliki hubungan keluarga dengan mempelai laki-laki. Kemudian calon mempelai perempuan di antar kerumah pihak laki-laki 1 minggu sebelum hari pernikahan, dengan tujuan agar calon mempelai perempuan mengenal secara keseluruhan silsilah keluarga pihak laki- laki atau dalam kata lain perkenalan dengan seluruh anggota keluarga,biasanya pelaksanaannya di sore hari sekitar jam 4 sore ( matahari masuk).  akan tetapi sebelum keluar dari rumah atau kediyaman mempelai perempuan di adakan pernikahan siri terlebih dahulu atau dalam bahasa negeri morella di sebut nikah spele yang bertempat di kediyaman calon mempelai perempuan dengan maksud untuk mengesahkan hubungan kedua mempelai.



PERSIAPAN RESEPSI
Sebelum ijab qabul di laksanakan terlebih dahulu kedua calon mempelai beserta kedua pendamping di kembalikan ke rumah pihak perempuan untuk persiapan resepsi pernikahannya , kemudian di hadiri oleh penghulu guna untuk mengambil wali nikah dan memastikan kesiapan kedua bela pihak terkait.

ARUDENDANG
Arudendang adalah suatu jenis tradisi/ adat yang di laksanakan pada saat pengantaran penganting ke lokasi resepsi pernikahan dengan berjalan kaki dan di iringi nyanyian-nyanyian adat dengan musik tradisional yang hanya menggunakan rebana , sekaligus dengan mebawakan sirih pinang.
Sebelum penganting keluar dari rumah di adakan beberapa prosesi adat terlebih dahulu yaitu :
  • Pengantin perempuan membasuh ( membersihkan ) kaki pendamping laki-laki atau biasa di sebut saudara   kaweng
  • Dilakukan isyarat dengan memasukan selempang kain ke kepala pengantin perempuan atau biasa di sebut lahat yang di lakukan oleh biang dengan maksud agar pengantin keluar dengan suci dan bersih serta terhalang dari hal-hal buruk.
IJAB QABUL
Adapun mereka yang terlibat langsung dalam proses ijab qabul adalah:
  • Kedua mempelai
  • Saudara kaweng dan saudari makan telur
  • Penghulu
  • Wali nikah
  • Saksi- saksi
  • Hosong, Pesy dan Uka Hata  (4 rumah tau Guru)
  • Tuhe, Meten Hiti

Sebelum ijab qabul di laksanakan terlebih dahulu penghulu mengumumkan jumlah mas kawin dan pemegang khotbah.
  • Proses jalannya acara nikah :
  • Ijab qabul
  • Penyerahan buku nikah
  • Jabat tangan
Kedua mempelai berjabat tangan dengan orang-orang yang terlibat dalam proses ijab qabul.

ACARA MALAM
Setelah selesai semua acara resepsi pernikahan ( ijab qabul ), di malam harinya di adakan makan bersama yang berupa makan telur oleh pengantin perempuan dan saudari makan telurnya. Untuk telur yang di makan adalah telur yang di masak (di goreng) oleh biang dan (bukan orang lain selain biang) dan hanya dia sendiri yang berada pada lokasi pemasakannya, Untuk hasil gorengan telurnya menurut kepercayaan masyrakat morella bahwa jika keadaan telur ketika di goreng mengembang maka berarti ada keturunan dalam keluarganya namun jika tidak berarti sebaliknya akan tetapi hasil gorengan  itu di rahasiakan dan tidak di beritahukan kepada siapapun karna di hawatirkan akan menimbulkan problema dalam rumah tangganya.


FKSB 2011

Kemas Pukul Sapu Dengan Icon

Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011)
Salah satu even parawisata berlatar belakang adat yang kuat bertahan di Maluku adalah perayaan pukul sapu atau pukul manyapu (PS). PS hanya terjadi di dua negeri bertetangga Morella dan Mamala.  Dari dua negeri adat ini pula, kita bisa menelusuri makna tersimpan di balik perayaan.
Sepintas, ritualnya sama. Sama dilakukan pada hari ke 8 Syawal tiap tahun. Sama dilakukan di halaman masjid. Sama dalam waktu pelaksaan, sesudah shalat ashar, sebelum magrib. Dan sama-sama diakui sebagai warisan budaya tetua negeri ratusan tahun lalu.
Kiranya pemikiran ini juga mendasari tawaran beberapa kalangan untuk menyatukan PS dua negeri, kemudian dibuat sebagai perayaan bersama yang didukung penuh oleh Pemda (Maluku Tengah dan Maluku). Namun setiap ide untuk mempersatukan, hampir pasti mendapat sanggahan dari kedua negeri, Morella dan Mamala.  Alasan yang dikemukakan, “ perbedaan latar belakang yang membedakan kami”. 

KAPAHAHA 
Morella, mengangkat latar belakang sejarah perang Kapahaha.  Perang yang berlangsung dari tahun 1637 hingga 1646.  Kapahaha adalah bukit batu terjal yang terdapat di hutan Negeri Morella. Kapahaha adalah benteng terakhir yang jatuh ke pihak Belanda di Pulau Ambon.  Perang Kapahaha berakhir ketika benteng Kapahaha dikuasai Belanda.
Pejuang yang sempat tertangkap dalam penyerbuan itu disiksa sebagai tawanan di Teluk Sawatelu selama tiga bulan. Kapitan Telukabessy sendiri berhasil lolos. Namun ia kemudian menyerahkan diri dan digantung dan dibuang di pantai Namalatu. Sepeninggal Telukabessy, tawanan Kapahaha dibebaskan Belanda pada tanggal 27 Nopember 1664 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Beberapa tokoh ditahan di Makassar dan Batavia. Sisanya, pulang ke daerah asal. (Maryam Lestaluhu, 1988)
Menurut Kapata Morella, pada perpisahan inilah, kemudian terjadi pukul sapu secara spontan sebagai ungkapan rasa sedih atas perjuangan yang telah berakhir. Perih di badan karena lecutan sapu menjadi perlambang kerasnya perjuangan yang disertai dengan pengorbanan jiwa raga. Kerasnya genggaman serta kuatnya pukulan jadi perlambang tekad kuat untuk tetap menolak semua bentuk penjajahan dan kerjasama dengan Belanda. Usai melakukan pukul sapu, mereka kemudian saling berpelukan, sambil berikrar untuk tetap saling mengingat dan akan bertemu kembali tiap tanggal 7 Syawal. Sejarah Kapahaha inilah yang menjadi latar belakang PS negeri Morella. Sejarah perang Kapahaha ini terus dibaca ulang tiap perayaan dan merupakan pertanda acara puncak PS siap digelar.

NYUALING MATEHU
Lain lagi dengan Mamala, minyak Mamala atau nyualing matehu dijadikan icon. Ketika diketahui bahwa salah satu tiang masjid retak/patah, imam Tuny (Tokoh Agama) bermunajat pada Sang Khalik agar masalah ini terselesaikan. Sesudah mendapat petunjuk melalui mimpi, Imam Tuny kemudian mengoles minyak pada tiang yang retak/patah, kemudian membungkus dengan kain putih. Keesokan hari, retak/patah tersebut sudah tersambung kembali. Dalam mimpinya juga, Imam Tuny mendapat petunjuk bahwa minyak itu dapat digunakan untuk penyembuhan keseleo, patah tulang dll. Khasiat minyak ini (nyualing matehu) kemudian diujicobakan ke tubuh manusia dengan terlebih dahulu dipukul dengan sapu hingga berdarah. Ternyata bekas luka sabetan sapu sembuh hanya dengan olesan nyualing matehu. Keberhasilan ini lalu dirayakan dengan memilih waktu yang tepat, yakni 7 Syawal. (Panduan Pelantikan; 2005)
Proses penyambungan retak/patah tiang dan penyembuhan luka bekas sabetan sapu lidi kemudian menjadikan nyualing matehu sebagai icon dalam perayaan 7 Syawal. Hal ini kita baca pada baliho-baliho milik negeri Mamala yang bertebaran di Kota Ambon, yang mengedepankan perlu pelestarian nyualing matehu sebagai warisan budaya. 

ICON
Icon atau symbol adalah hal penting dalam mengemas satu iven. Masih segar memori kita ketika pemerintah mengkampanyekan Bali sebagai paradise island. Atau Jogja menjadikan Malioboro sebagai salah satu icon parawisata. Di Maluku, kita juga menjual Banda sebagai icon wisata bahari melalui Sail Banda dll.
Lalu dalam mengemas PS, Morella dan Mamala juga butuh icon yang “kuat” dan terus menerus diangkat sehingga masyarakat mengenal pukul sapu dengan icon tersebut.  Mamala sudah tegas menjual icon nyualing matehu, minyak mamala. Tidak afdhal rasanya seorang pengunjung  pulang tanpa membawa minyak tersebut. Bahkan seorang peneliti Inggris Dr. Herbal Thomas, tahun 2008 perlu berjibaku dengan anak Mamala di arena PS  untuk buktikan khasiatnya (Ameks, 2008).
Teman saya seorang perwira yang pernah pertugas di Kodam Pattimura hanya meminta oleh-oleh nyualing matehu bila saya ke Jakarta. Dia justru kaget ketika saya cerita tentang nama Taman Makam Pahlawan Kapahaha yang diambil dari nama bukit benteng Kapahaha di Morella.  Dia makin serius merespon ketika pembicaraan menyinggung Saloka Kodam Pattimura,  Lawa Mena Haulala. Karena Lawa Mena Haulala adalah semboyan perjuangan Kapitan Telukabessy dari Kapahaha yang untuk pertama kali digunakan tahun 1965, namun jarang kita dapati anggota TNI memahami asal semboyan tersebut.
Bagi Negeri Morella mengemas icon Kapahaha untuk iven PS adalah penting. Karena di samping melaksanakan iven adat secara turun temurun,  PS juga memberikan pesan moral kuat tentang pentingnya sikap tegas dalam perjuangan.  Pentingnya membangun  silaturrahmi dengan anak cucu para pejuang Kapahaha yang berasal dari Wawane, Ternate, Seram, Tuban, Makassar dll.
Mengemas iven dengan icon yang kuat, bukanlah hal mudah. Butuh proses panjang dan terus menerus.  Laksana seorang pelari maraton, ia harus memiliki tenaga dan napas panjang serta konsisten menjaga. Begitupun di kedua Negeri, Morella dan Mamala. Mengemas icon Kapahaha dan nyualing matehu butuh semangat dan napas “pelari marathon”.


Fuad Mahfud Azuz
Durian Patah, 4 September 2011

Di Balik Pukul Sapu Lidi Morella


Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011)
“Apa alasan masyarakat Morella mempertahankan Pukul Sapu Lidi ? Pertanyaan itu kemarin kembali diajukan seorang wartawan yang saya dampingi mengambil sejumlah bahan untuk dipublikasi di Morella. Pertanyaan yang sama tiap tahun diajukan pejabat, wartawan bahkan pengunjung yang sudah berulang-ulang mengikuti prosesi atraksi pukul sapu Morella. Salah seorang penanya adalah Andi Kumala Idjo Karaeng Lembang Parang, putra Raja Gowa terakhir.  Ia diundang dalam kapasitas sebagai perwakilan turunan kapitan dan malesi yang berjuang bersama pada perang Kapahaha tahun 1637 hingga 1646.

MEMAKNAI
Menarik membaca tulisan Faidah. Ia mencoba mendekati PS dari perspektif postcolonialsme. Bahwa pada masyarakat yang pernah dijajah, yang merasa tertindas dan  kemudian memarginalkan diri, ada “teriakan” dan gejolak jiwa yang tak terdengar. Gejoka ini baru bisa terdengar, terbaca, bila dilakukan pemihakan. (Faidah; Ameks, 8 Oktober 2008)
Pembacaan saya terhadap gejolak itu kira-kira terbaca dari cara mereka mensikapi pukul sapu. Pertama, cukup menyelesaikan ritual sebagaimana biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sini, nampak ada penolakan terhadap unsure baru. Kedua, kesadaran untuk membuka diri, umumnya dimulai dengan mengangkat cerita heroic Perang Kapahaha dan Kepahlawanan Kapitan Telukabessy. Ketiga, ada arus tengah, menyatukan sikap pertama dan kedua secara bersamaan.

ISOLASI
Salah satu sikap masyarakat Morella menolak unsure luar adalah cerita para tetua tentang pemilihan lokasi negeri. Saat kalah perang, semua penduduk di negeri tua (Kapahaha, Iyal Uli, Putilessy dan Ninggareta, lokasi di pebukitan negeri Morella) diharuskan untuk membangun kampong di pesisir pantai oleh Belanda. Awalnya, mereka menetap di Sawatelu yang dibuktikan dengan dua kubur Raja di Sawatelu.
Namun, kehidupan di Sawatelu tidak memberi rasa aman, karena masih memungkinkan Belanda mengontrol, kapal Belanda masih bisa berlabuh depan negeri. Maka dipilih lokasi baru, yang tidak memungkinkan Belanda melabuhkan kapal. Lokasi itu, Morella sekarang.
Di masyarakat ada pemeo, Belanda itu kafir. Label kafir dalam masyarakat tradisional muslim adalah sesuatu hal tabu. Kondisi ini masih terus terjadi walau pemerintah sudah berganti, minimal hingga tahun 70-an.  Sikap tertutup bahkan merambah hingga memilih sekolah untuk anak mereka. Pelajar dan pemuda Morella  memilih bersekolah di madrasah, pesantren atau IAIN.
Morella yang “tertutup”, masih kita rasakan tahun 70-an. Jumlah PNS dan yang mengecap pendidikan umum sangat minim.  Padahal dari segi ekonomi mereka terus berkembang. Pertanian tanaman keras dan perdagangan hasil bumi tumbuh baik. Saat bersamaan mereka justru mengirim anak ke pesantren-pesantren di Makassar dan Jawa (baca; bukan sekolah umum). Sehingga negeri lain menjuluki Morella saat itu sebagai negeri “pali-pali” (negeri tikar, karena banyak berkutat dengan tahlilan dan sejenis). 
Selepas generasi itu (tahun 70-an),  pelajar, mahasiswa Morella baru mulai merambah pendidikan umum. Jumlah yang berminat menjadi PNS dan bersekolah di sekolah/PT umum makin meningkat. Era baru masyarakat Morella sudah dimulai.
Mengapa mereka memilih menutup diri?,  Secara perlahan mulai saya pahami ketika dekat dengan panitia Pukul Sapu, suka kongko-kongko dengan tetua negeri. Kepanitian yang terkesan asal menyelesaikan acara puncak, selesai sudah, menjadi bahan pemikiran saya.  Mungkinkah sikap para leluhur yang tidak mau banyak membuka diri masih mendapat tempat hari ini, pada generasi yang lebih muda?

FORUM KAJIAN SEJARAH
Obor Kapitan Telukabessy (foto: FKSB 2011)
Sisi kedua dalam mensikapi pukul sapu dengan pandangan berbeda, ditunjukkan oleh kelompok muda. Ide-ide segar untuk mengangkat kepahlawanan Kapitan Telukabessy dan heroiknya perang Kapahaha menjadi icon. Umumnya mereka adalah pelajar, mahasiswa dan pemuda yang mulai bersentuhan dengan dunia luar, pendidikan umum atau yang tinggal di luar Morella.
Kelompok masyarakat ini mulai temukan ruh lain dari pukul sapu. Kalau sejak awal, pukul sapu diawali oleh pembakaran obor Kapitan Telukabessy, maka mereka memberikan pemaknaan lebih dari sekedar obor. Obor adalah semangat memperjuangkan kepahlawanan Kapitan Telukabessy.  Pukul sapu, tidak sekedar ritual adat tahunan, lebih dari itu sebagai pemersatu dan jalan menuju pengakuan kebesaran perang Kapahaha.   
Gejolak positif ini dimaknai dengan berbagai kegiatan terstruktur. Pembentukan Forum Kajian Sejarah dan Budaya, diskusi Kepahlawanan Kapitan Telukabessy, membangun jaringan dengan – yang mereka namakan – anak cucu para pejuang Kapahaha, seperti membangun silaturrahmi dengan kerajaan Gowa, dll, membuat teatrikal perang Kapahaha, hingga aktif membuka jaringan dengan media elektronik untuk “menjual” Morella, memberikan pesan jelas bahwa benar mereka sedang berproses.
Teriakan sumbang Morella tentang nama Kapitan Telukabessy yang disalah tulis oleh Pemda Kota Ambon pada nama jalan menjadi Tulukabessy, atau pataka Kodam XVI Pattimura “Lawa Mena Haulala” yang murni digali oleh Nurtawainela cs (tahun 1965) dari pekik perang Telukabessy, yang kini disalah artikan dan dicaplok seakan itu pekik Pattimura, sudah masuk dalam agenda besar mereka. Dan ini saya baca sebagai pemaknaan mereka terhadap obor Kapitan Telukabessy.   
Sampai di sini, nampak  bahwa dengan proses yang sedang dilakoni, hanya menunggu canal, waktu yang pas dan keberpihakan pemerintah. Manakala itu terjadi, tidak mustahil teriakan sumbang akibat isolasi diri, perasaan marginal, lambat laun akan menjadi energy positif. 
Allahu A’lam bish shawab.

Durian Patah,  7 september 2011
Fuad Mahfud Azuz

Dikirim ke Radar via email tgl 7 september 2011

Minggu, 03 Juli 2011

M O R E L L A

Oleh: Bambang Widiatmoko

Di sebuah rumah tua
atap daun kering terpanggang abad
Tiang kokoh tampak berkerut
Tak ada lumut.

Angin dari laut berhembus
Takmampu menghalau gelisah
Dalam cucuran keringat
Berlelehan di tubuh tanpa sungut.

Mungkin hanya peti besi tua
Yang mampu menguak sejarah
Negeri yang dulu berdiri dengan gagah
Kini tampak letih - namun takmerasa kalah.

Aku menemu malam bertabur bintang
Dalam temaram cahayanya
Gelombang laut februari terus berlari
Mengejar mimpi lelaki sejati.

Di dalam rumah tua
Kilatan cahaya terus menerpa sejuta aksara
yang tertulis di atas kertas - nasibnya sengsara
seperti cinta sejati leluhur kita
Engkau hapus debu yang menyelimutinya.

Mungkin ada do'a para ulama di tubuhnya
Kulihat cahaya melesat menembus cakrawala
Barangkali juga mantera mengiringi laju perahu
Tempat ikan berenag dan menunggu
Di rumah tua - aku tertegun malu.

Morella telah menjadi nyala api di hati
Seribu kitab tersimpan dalam almari besi
Menyembunyikan rasa nyeri
Menyembunyikan air mata leluhur kami
Menyembunyikan diriku di balik jeruji nurani.


Foto: Naskah Peninggalan di Rumah Tua Marga Manilet, Negeri Morella. (By: FKSB 2006)


=========================================================================
Dikutip dari buku HIKAYAT KATA (Kumpulan Puisi) Karya Bambang Widiatmoko yang diterbitkan oleh GAMA MEDIA (April 2011).
Penuslis adalah seorang penyair kelahiran Yogyakarta 24 Oktober 1960. Pada tahun 2003 ia dianugerahi sebagai Pelestari Budaya oleh Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi (PLKJ) Surakarta.Selain sebagai dosen Universitas Mercu Buana, ia juga bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), serta anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Info lain mengenai Bambang Widiatmoko klik di sini
 

Rabu, 15 Juni 2011

Pohon Yang Terabaikan

Oleh:Fahmi Sialana

Suatu hari pada masa kecilku, seperti layaknya anak kecil yang sedang dalam masa pertumbuhan, aku ingin mencari nuansa baru, mengenal dunia yang sedang aku jalani lalu aku berjalan disepanjang pantai.menelusuri pantai. Sampailah aku di suatu tempat, dibawah pohon Mintanggur yang sudah tua dan sudah teramputasi. Aku duduk sambil menikmati panorama alam nan indah. Sungguh duniaku seperti fatamorgana.

Dari kejauhan di ufuk barat tampak tanjung sial, di seberangnya tampak semenanjung Jazirah Leihitu. Lalu aku berbalik arah memandang tanjung setan, tanjung yang kaya akan pemandangan alam bawah laut beserta biota-biota lautnya, tanjung yang menjadi saksi bisu patriotisme nenek moyangku dalam menghadapi para agresor dari Eropa.

Didepan mata tampak hamparan lautan yang luas dan teduh, seteduh semua orang yang memandangnya. Tak ada ombak,aku sangat menikmati pemandangan itu. Terdengar tiupan angin sepoi-sepoi menggetarkan daun-daun Mintanggur, begitu menggugah sanubariku.

Aku naik dan duduk diatas sebatang pohon mintanggur yang menjulang ke laut. Kudengar kawanan burung kasturi yang sudah hampir punah berkicau tak karuan di ujung ranting pohon besar yang sebagian besar daun-daunnya sudah gugur yang tak jauh dari pantai . Seakan-akan mereka sedang marah-marah melihat dadesu atau perangkap burung yang dipasang oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sambil sesekali memandangi langit. Tampak burung camar terbang melayang dan bersahutan dibalik awan. Sungguh dunia mereka berbeda.

Lalu aku memandang kebawah, memandangi jernihnya air laut. Tampak ikan-ikan kecil bermain diantara bebatuan dan rumput-rumput laut. Sesekali ikan-ikan itu memandang kearahku, kemudian pergi lagi. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh ikan-ikan itu. Tak lama kemudian datang kawanan ikan-ikan tadi dan tiba-tiba “PLOK”, buah mintanggur jatuh menembus permukaan air, membentuk gelombang-gelombang kecil, dan tiba-tiba kawanan ikan itupun kalang kabut lari kesana kemari.

Hatiku lalu bertanya-tanya, ada apa dengan ikan ikan itu dan buah mintanggur tadi? apakah ikan-ikan itu menjadi trauma akibat selalu dihantui gelegar BOM IKAN yang telah meluluhlantahkan dunia dan generasi-generasi mereka? Lalu apakah jatuhnya buah mintanggur tadi ibarat air mata yang jatuh menangisi nasibnya yang tidak berdaya, menunggu untuk dimutilasi oleh tangan-tangan manusia yang beralatkan mesin Chainsaw?

Tiba-tiba tampak dari kejauhan terdengar deru mesin pemotonng pohon/Chainsaw meraung–raung membelah kesunyian hutan belantara. Aku kembali teringat akan jatuhnya buah mintanggur tadi, mungkinkah dia sedang menangisi ketidak berdayaannya akibat sering mendengar suara mesin pemotonng pohon tadi?......

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Itulah sekilas kisah yang saya alami saat masa kecilku. Sebagai anak Negeri Morella saya sangat prihatin atas tindakan arogan masyarakat yang sangat tidak menghargai buah tangan nenek moyangnya.

Menurut cerita orang tua-tua dulu di sepanjang pantai morella, berjejeran pohon mintanggur dan seandainya orang-orang dengan perahu mau ke hutan, apalagi dimusim panas, orang akan mendayung di bawah pohon mintanggur untuk menghindari terik matahari. Tapi kenyataan yang ada sekarang, sepanjang pantai yang dulu ditumbuhi pohon mintanggur sudah sangat gersang. Abrasi pantai sudah semakin jauh. Padahal pohon mintanggur merupakan pohon yang sangat kokoh menahan terpaan ombak.

Saya kagum dengan pemikiran nenek moyang dahulu. Daya fikir mereka telah menembus ruang batas dan waktu. Penebangan pohon secara liar bukan saja terjadi ditengah hutan tetapi juga terjadi di sepanjang pantai. Hamparan hijau pohon mintanggur telah hilang, yang ada hanya batang-batang kayu mintanggur kering yang sudah teramputasi, yang jauh dari pantai akibat abrasi. Lalu apakah kita sebagai anak cucu hanya tinggal diam melihat ini semua?

Lalu seandainya pada masa anak cucu kita nanti, cadangan minyak bumi telah habis, apa yang bisa mereka gunakan sebagai bahan bakar penerang rumah? Pada saat itulah mereka akan kembali mengingat akan cerita orang tua mereka tentang pohon yang pernah menjadi andalan nenek moyang mereka.

Dulu minyak tanah sangat terbatas dan mahal lagi pula sulit didapat. Karena itu orang tua-tua dulu menggunakan buah mintanggur sebagai obor/lampu penerang rumah. Dengan cara: Biji dari buahnya digoreng sampai warnanya berubah menjadi merah tua, kemudian ditusuk dengan lidi daun sagu. Satu tusukan bisa menyala hingga semalam suntuk yang hanya terdiri dari 20-30 biji Mintanggur.

Karena pohon mintanggur begitu bermanfaat maka untuk melestarikannya dibuatlah sasi mintanggur, selain sasi kelapa, sasi laut, sasi pala dan sasi hutan lainnya.

Kita bisa berimajinasi untuk mengelompokkan generasi muda dalam tiga kelompok Yaitu: (1) Mereka yang tergerak untuk menghadirkan solusi berbagai problema masyarakat. (2) Mereka yang diam saja dan tak peduli dengan beragam problema itu. (3) Mereka yang menjadi bagian dari problema itu. Bagaimana kita melihat fenomena yang ada? Apakah harus tetap menjadi generasi kelompok kedua? Tentunya tidak, kita seharusnya menjadi bagian dari kelompok yang pertama, agar tercipta kerja sama untuk menanam dan melestarikan pohon Mintanggur.

Sebagian besar wilayah di sepanjang pantai Negeri Morella berpotensi sebagai tempat wisata. Beberapa diantaranya memiliki keindahan dan keunikan pohon Mintanggur yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Misalnya di PANTAI LETAN, lokasi ini masih terdapat pohon Mintanggur yang terawat dengan baik.


Selasa, 24 Mei 2011

Mari Sukseskan Program GEMASKOP: OVOP (One Village One Product)

Mari Sukseskan Program GEMASKOP: OVOP (One Village One Product)






Latar Belakang
Program One Village One product merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia yang pelaksanaannya didasari pada Inpres No. 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007 yang mengamanatkan pengembangan sentra melalui pendekatan OVOP. Program ini dilakukan pada produk yang memiliki ciri khas daerah setempat atau produk yang secara kultural masyarakat yang memiliki potensi pasar baik domestik maupun pasar ekspor.



Bapak Menteri Koperasi dan UKM RI sedang mencicipi Jus Pala Morela yang dibina, dikembangkan dan didistribusikan oleh KUD Tomasiwa Desa Morela-Ambon yang merupakan salah satu Produk OVOP dari Provinsi Maluku. Tampak dalam gambar Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu dan Direktur SMESCO UKM ibu Yuana dalam acara Pembukaan Pameran produk unggulan daerah di gedung SMESCO UKM tahun 2011





Tujuan Pengembangan Produk Unggulan Daerah Melalui Pendekatan OVOP
1. Mengembangkan produk unggulan daerah yang memiliki potensi pemasaran lokal maupun internasional.
2. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas serta nilai tambah produk, agar dapat bersaing dengan
    produk dari luar negeri (impor)
3. Khusus kegiatan OVOP yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM dalam mengembangkan
    OVOP harus melalui Koperasi dan UKM.
4. Meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.






SUMBER: GEMASKOP

Sabtu, 23 April 2011

Budpar Maluku Siapkan Festival Budaya Islam

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku menyiapkan festival kesenian dan budaya bernuansa Islam untuk menyemarakkan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-XXIV di Maluku, Mei 2012.

"Kami sudah mengusulkan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), agar kegiatan kesenian dan kebudayaan Maluku yang bernuansa Islami bisa ditampilkan menjelang dan selama kegiatan MTQ berlangsung nanti," kata Kepala Disbudpar Maluku Florence Sahusilawane kepada ANTARA di Ambon, Jumat.

Ia menjelaskan, acara seni dan budaya Islam yang sedang mereka siapkan untuk digelar saat Maluku menjadi tuan rumah MTQ ke-XXIV, antara lain festival musik, parade hadrat dan toto buang, lomba taman indah, parade busana muslim dan lainnya.

"Kami juga akan berkoordinasi dengan Balai Arkeologi Ambon untuk menyiapkan pameran yang berkaitan dengan arkeologi Islam," katanya.

Menurut Sahusilawane, pameran arkeologi direncanakan akan dilangsungkan di Kecamatan Leihitu, Kebupaten Maluku Tengah (Pulau Ambon), karena daerah tersebut memiliki banyak peninggalan sejarah Islam, salah satunya adalah masjid tua Wapauwe yang berdiri sekitar 1414 Masehi.

"Kecamatan Leihitu memiliki potensi pariwisata Islam yang cukup besar. Seperti peringatan hari tujuh Syawal yang digelar oleh Desa Mamala dan Morela setiap hari ketujuh Idul Fitri, dengan mengadakan festival `pukul manyapu`," katanya.

Ia menambahkan, festival yang telah menjadi agenda tahunan Disbudpar Maluku tersebut yang menceritakan tentang perjuangan masyarakat Leihitu dalam mengusir penjajah Belanda, telah menginspirasi seniman daerah Maluku untuk menciptakan tarian kontemporer "baku pukul manyapu".

"Tarian ini pernah mendapatkan penghargaan Penyaji Terbaik se-Indonesia pada Parade Tari Nusantara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), tahun 2009," kata Florence Sahusilawane.(*)


Sumber:  ANTARA NEWS.com

Negeri Alang tak Dibiarkan Terus “Mamboro”

AMBON–Bermain pasir di tepi pantai merupakan kebiasaan yang gemar dilakukan Inggrid, John, dan Adhit, tiga bocah Desa Alang, Kecamatan Leihitu, Provinsi Maluku.
“Katong ada barmaeng pasir om (Kita sedang main pasir om),” kata Inggrid, ketika ditemui sedang bermain bersama dua sahabatnya itu, di tepi pantai Pasir Putih yang membentang sejauh kurang lebih 500 meter di dekat jalan raya Negeri Alang.
Gadis berkulit hitam dengan rambut agak ikal itu tersenyum dan tertawa kecil saat disapa, demikian pula reaksi yang diberikan kedua sahabatnya.
Membangun istana pasir, lengkap dengan terowongan dan selokan di sekelilingnya, biasa dilakukan anak-anak Negeri Alang saat liburan.
Tempat Inggrid, John, dan Adhit bermain merupakan kawasan pantai berpasir putih yang banyak dihiasi karang papan, batu karang yang tidak tajam sehingga orang yang menginjaknya tanpa alas kaki pun tidak perlu khawatir tergores atau tertusuk.
Kecuali obyek wisata Pantai Natsepa, kawasan pantai di Pulau Ambon umumnya berkarang papan, warnanya putih kekuningan, seperti terlihat di pantai Pasir Putih Alang.
Ditetapkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku sebagai salah satu lokasi kunjungan wisata, pantai tersebut berlokasi di wilayah kecamatan Leihitu Barat, yang mencakup Desa Wakasihu, Larike, Alang, Liliboy dan Hatu.
Menurut Camat Leihitu Barat John Mahulette, kawasan pesisir daerah ini memiliki pesona alam bawah laut dan pemandangan yang eksotik, dan karenanya sangat pantas untuk dijadikan obyek wisata alam, khususnya di tiga lokasi, yakni pantai Pasir Putih, Tapi, dan Alang.
Tapi dan Alang dengan bibir pantai melekuk ke arah daratan memiliki air jernih dengan kombinasi warna hijau (dangkal) dan biru gelap (dalam). Rencananya di dua lokasi itu akan dibangun tempat rekreasi memancing dan menyelam untuk menikmati keindahan alam bawah air, sementara wisatawan yang ingin berjemur dan berenang dapat melakukannya di lokasi Pasir Putih.
Pada hari Sabtu dan Minggu, kawasan pesisir Tanjung Alang cukup ramai dikunjungi wisatawan, meskipun yang berasal dari luar negeri bisa dihitung dengan jari. Dalam bahasa Maluku, kondisi seperti itu bisa diibaratkan “mamboro” (setengah tidur).
Pesta rakyat
Negeri Alang terletak di bagian ujung Barat Teluk Ambon, dan dapat didatangi melalui perjalanan darat melalui sejumlah negeri, yakni Batu Merah, Tantui, Galala, Halong, Latu, Lateri, Paso, Waiharu, Humuth/Durian Patah, Poka, Wayame, Tawiri/Hative Besar, Laha (Bandara Pattimura), dan Liliboy.
Pada akhir pekan, bahu kiri jalan utama di lokasi Pasir Putih dipenuhi puluhan mobil dan motor yang parkir. Di lokasi utama terlihat sejumlah pekerja sedang membuat pondasi lapangan voli pantai.
Melihat potensinya sebagai pesona bagi wisatawan lokal maupun internasional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi berupaya membangun Desa Alang sebagai obyek wisata andalan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi pendapatan asli daerah.
Sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan obyek wisata Negeri Alang, pemerintah Maluku sedang menyiapkan penyelenggaraan sebuah festival budaya dan pariwisata bertajuk Pesta Rakyat, dijadwalkan berlangsung pada 28 Maret.
Selain jalan darat dari Ambon dan Laha (Bandara Pattimura) menuju Desa Alang sudah dimuluskan, penyelenggara festival sekarang ini sedang sibuk mempersiapkan tempat tinggal bagi para pengunjung yang akan datang.
“Kalau tidak membangun pondok atau hotel, kami akan meminta warga di sini menyiapkan rumahnya untuk tempat menginap. Isitilahnya `homestay`,” kata Kadinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Ny Florance Sahusilawane.
Menurut dia, untuk pengembangan Negeri Alang sebagai daerah wisata, pihaknya bersama Camat Leihitu Barat dan Raja-Raja Negeri (kepala desa/lurah) Wakasihu, Larike, Alang, Liliboy dan Hatu serta pelaku pariwisata dari berbagai biro perjalanan serta Himpunan Pramuwisata Indonesia Cabang Maluku telah bertatap muka dengan masyarakat setempat dan memberikan masukan tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah bersama-sama mengembangkan potensi wisata yang ada di daerah mereka.
Dalam Pesta Rakyat yang dipusatkan di Negeri Alang, para pengunjung akan menikmati berbagai kesenian tradisional dan budaya setempat, juga makanan khas.
Sejauh ini, penyelenggara sudah menyiapkan sejumlah atraksi seperti Tifa Totobuang dan Sawat, yang merupakan kolaborasi seni dari dua tradisi masyarkat Kristen dan Muslim di Maluku, juga atraksi Timba Laor, menangkap cacing laut dengan alat siru-siru yang biasa dilakukan pada periode Maret-April.
Acara lainnya pembinaan sadar wisata dan pemberdayaan masyarakat, peragaan busana daerah, pertunjukan Tari Sagu, Tari Sahureka-reka, Tari Cakalele, Tari Ramas Kasbi (ubi), Tari Sayur Meti, Pencak silat, dan sejumlah permainan termasuk voli pantai, apiong (gasing), jona-jona (tempurung) yang menggambarkan kerinduan anak muda Maluku di rantau untuk pulang ke kampung halaman.
Selain itu, juga akan diadakan pameran sejarah, arkeologi, dan pemutaran film tentang pembangunan yang sekaligus merupakan sosialisai pemilu kepada masyarakat.
Menjadi teladan
Negeri Alang di ujung barat Teluk Ambon terpencil dan terkesan sedikit terisolasi. Kendati mayoritas penduduknya beragama Kristen, mereka dapat hidup berdampingan, rukun dan damai dengan masyarakat negeri tetangga, yaitu Wakasihu dan Larike.
Dengan diresmikannya jalan utama Laha-Wakasihu, sebulan sebelumnya, akses menuju negeri itu pun semakin terbuka, cepat dan lancar. Perjalanan dari ibukota Ambon dengan kendaraan darat hanya menghabiskan waktu 45 menit, menempuh jarak sekitar 45 kilometer.
Terbukanya akses jalan menuju Negeri Alang terbukti pula berbanding lurus dengan peningkatan jumlah orang yang mengunjunginya untuk berekreasi saat liburan, mengingat potensi wilayah pesisirnya yang menarik sebagai tempat rekreasi dan wisata.
Lebih dari itu, Pesta Rakyat yang bakal digelar dipastikan akan semakin membuka keberadaan Negeri Alang, tanah kelahiran Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, di mata masyarakat nasional dan internasional.
Pemerintah Maluku juga menyatakan harapan agar negeri yang juga dikenal sebagai penghasil langsat (duku) dan durian itu bisa menjadi daerah kunjungan wisata andalan, seperti halnya Pantai Natsepa.
Kehidupan masyarakatnya yang rukun dan bisa berdampingan secara damai, selama ini juga disebut-sebut sebagai teladan yang sangat positif.
www.republika.co.id

Waktu Berhenti di Fort Amsterdam

Oleh: Wildvagabond

Maluku - Sudah banyak orang tahu bahwa wilayah Indonesia Timur menjanjikan keindahan alam yang lebih mempesona dibanding destinasi wisata lain yang sudah umum diketahui dan sudah menjelma menjadi daerah yang too touristic. Namun semua setuju bahwa untuk mencapai Indonesia Timur dihadapi kendala dukungan fasilitas transportasi yang terbatas. Saat kita mencapai daerah yang kita tujupun, masalah transportasi kembali menghadang. Tetapi, kanapa harus khawatir? Bukankah dengan membiarkan diri kita tersesat di dunia yang benar-benar baru, kita justru akan menemukan intan-intan yang belum terasah selama perjalanan kita?
Oke lah, untuk mereka yang memilih berpetualang dengan fasilitas yang aman dan terjamin, kini tersedia rute penerbangan alternatif dengan menggunakan pesawat Garuda. Armada Garuda yang terbang setiap hari ke Ambon akan transit selama setengah jam di Makassar. Pesawat yang digunakanpun tergolong baru, yaitu Boeing 737-800. Rute penerbangan ke kedua kota ini dihidupkan kembali karena Makassar dan Ambon boleh dikatakan sebagai titik awal untuk mengeksplorasi keindahan wilayah Indonesia Timur yang memikat.
Dari Makassar, seseorang bisa memilih apakah akan menjelajah dataran Sulawesi sampai jauh ke Kepulauan Sangihe Talaud, atau berlayar bersama para pelaut handal Bugis menjelajahi kepulauan Nusa Tenggara dan terpana menyaksikan salah satu keajaiban dunia di Pulau Komodo. Tetapi, melanjutkan perjalanan selama satu setengah jam ke Ambon juga bukan hal yang mustahil, karena pulau ini merupakan titik awal dari keragaman yang menanti untuk dinikmati.


Kedamaian Pulau Awan
Saat saya menjelajahi Ambon akhir minggu lalu, bayangan reruntuhan puing dan posko-posko pemeriksaan seperti yang ditunjukan televisi nasional benar-benar tidak saya jumpai. Justru jalanan beraspal mulus (lebih mulus dari jalanan di Jakarta), dan geliat ekonomi masyarakat ambon yang serba cepat membuat saya kagum, betapa surga yang pernah diberitakan terkoyak kerusuhan ternyata sedikit demi sedikit sudah bangkit.
Ada banyak kegiatan yang saya ikuti selama saya di Ambon, mulai dari snorkelling, menjelajah hutan, menonton pertunjukkan sampai mengagumi peninggalan bersejarah. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari seluruh kegiatan yang saya ikuti, bahwa masyarakat Ambon sebenarnya adalah masyarakat yang cinta damai dan menerima perbedaan dengan senyum yang lebar.


Rahasia Keabadaian Fort Amsterdam
Fort Amsterdam adalah salah satu tempat yang saya kunjungi selam di Ambon. Berlokasi di desa Hila, bangunan ini sebenarnya benteng kedua yang dibangun Belanda di abad ke 17 dan berfungsi untuk menangkis serangan kapal-kapal pesaing dagang Belanda yang berniat merebut Kota Ambon sebagai basis perdagangan mereka. Sejak benteng pertama, Kastel van Nerre, hancur, praktis Fort Amsterdam adalah bangunan tertua peninggalan belanda di Pulau Ambon.

Bangunan yang nyaris berbentuk segi empat ini memiliki tebal dinding antara satu sampai satu setengah meter. Bagian luar bangunan terbuat dari batu dan bagian dalamnya saat ini terbagi dua, yaitu laintai dasar dan lantai dua yang beralaskan kayu besi. Baik struktur bangunan maupun kayu-kayu yang digunakan boleh dikatakan masih kuat menopang siapapun yang ingin tahu bagian sudut-sudut Fort Amsterdam, kecuali bagian balkon. Saat saya mengunjungi Fort Amsterdam pagar pengaman balkon sudah rubuh tergerus udara laut.
Padahal dari bagian balkon inilah pemandangan Teluk Ambon dan Tanjung Leihitu terhampar di depan mata. Laut yang jernih dan tenang serta perbukitan di seberang sana melempar imajinasi saya ke 350 tahun yang lalu saat Bangsa Belanda berhasil menaklukan seluruh kepulauan dari tangan Portugis. Lada, pala, dan rempah lain yang berharga lebih tinggi dari emaslah yang sebenarnya membuat Ambon satu-satunya wilayah di Indonesia yang merasakan penjajahan bangsa asing selama tiga setengah Abad.


Desa Damai
Desa Hila merupakan cerminan Ambon dan saya sungguh merekomendaskan desa serta benteng ini sebagai titik awal eksplorasi keindahan Ambon. Di desa Hila ini terletak dua situs bangunan religi terua yaitu Gereja Hila dan Masjid Wapauwe.

Gereja Hila merupakan bangunan terbuat dari kayu yang didirikan pada tahun yang sama dengan Fort Amsterdam serta terletak berdekatan dengan area benteng. Bangunan ini pernah direnovasi pada tahun 1880an setelah hancur terkena gempa dan berdiri kembali hingga saat ini.


Mesjid Mapauwe adalah mesjid tertua di Ambon dengan struktur bangunan campuran kayu dan batu. Di mesjid ini terdapat peninggalan para penyebar Agama Islam di Ambon dan artefak Al-Quran yang ditulis tangan.
Selama kerusuhan terjadi penduduk Desa Hila yang beragama Kristen diselamatkan oleh penduduk muslim yang mengelilingi mereka. Saat ini penduduk berbeda agama tersebut kembali hidup berdampingan dengan damai, seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lampau.
Banyak sekali wilayah di Pulau Ambon yang belum digali dan diketahui dunia luar. Dengan akses penerbangan yang lebih mudah serta fasilitas akomodasi yang mendukung, potensi wisata di kepulauan ini merupakan asset yang menjanjikan, terlebih dari Ambon siapapun bisa melanjutkan petualangan mereka lebih jauh ke timur ke destinasi yang lebih jauh, di mana petualangan hanya sebagian kecil dari pengalaman kita membaur dengan keindahan alam Indonesia.


(Wildvagabond / gst)

Sumber:  Detik Travel

Video: Budaya Huul Iyal Uli di Morella



Duration :

4:48

Description : 

Ini adalah sebuah taradisi yang dilakaukan oleh warga morella keturunan moyang-moyang yang berasal dari negeri lama Iyal Uli. Mereka terdiri atas Upu Ana dari lima mata rumah tau yaitu : Tawainlatu, Pical, Wakang, Lauselang dan Latulanit. Tradisi ini biasanya dilakukan bila salah satu warga diantara lima marga tersebut membuat suatu hajatan seperti perkawinan, khitanan, aqikah, dan sebagainya maka warga yang lain membantu dengan membawah berbagai keperluan terkait dengan hajatan itu. Cara unik dapat disaksikan dalam video ini, baik di pihak yang mempunyai hajatan maupun yang datang membantu masing-masing mempunyai gaya tersendiri.


Link to this video :

http://youtu.be/_8CMEA3uHeE

Selasa, 19 April 2011

Video: Menari Sawat Morella 2006 (1)



Duration :
3:31
Description :   
Bah suasana di gurun pasir, masyarakat Negeri Morella Kecamatan Leihitu menggelar tradisi menari sawat dalam sebuah acara perkawinan. Suara tifa rebana dan seruling menggema di sepanjang malam yang diberinama "Malam Nahu Lima" atau malam kumpul basudara.

Link to this video :

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger